REPUBLIKA.CO.ID, ANTARTIKA -- Ilmuwan di Universitas Swansea di Inggris mengatakan jika sebuah gunung es besar di Antartika telah hancur. Gunung es tersebut memiliki besar dua kali dari volume Danau Erie dengan berat satu triliun ton. Proses hancurnya gunung es yang dikenal sebagai calving, terjadi dalam beberapa hari terakhir. Ketika itu sebuah area seluas 5.800 kilometer persegi memisahkan diri.
"Kami telah mengantisipasi ini selama berbulan-bulan, dan telah terkejut berapa lama waktu yang dibutuhkan agar celah tersebut menembus beberapa kilometer es," kata Adrian Luckman dari Universitas Swansea dikutip dari Time, Kamis (13/7).
Luckman mengatakan, jika ilmuwan terus memantau dampak peristiwa tersebut. Mereka akan terus melihat bagaimana nasib kelanjutan gunung es yang hancur begitu besar.
Ahli glasiologi Swansea Martin O'Leary menyatakan jika fenomena tersebut bukan disebabkan perubahan iklim buatan manusia. Namun, dengan melihat hasil runtuhnya gunung es, menempatkan tumpukan es dalam posisi yang sangat rentan. Hasil dari runtuhnya gunung es pun diakui tidak akan mempengaruhi permukaan air laut dalam jangka pendek.
Satelit NASA dan European Space Agency telah memantau gambar-gambar dramatis dari hancurnya gunung es tersebut. Proses tersebut terakhir kali tertangkap oleh gambar inframerah termal dari instrumen satelit Aqua MODIS NASA.
Para ilmuwan dari proyek Antartika yang berbasis di Inggris, MIDAS, telah memantau keretakan di Larsen C selama bertahun-tahun. Monitoring menyusul penelitian sebelumnya mengenai runtuhnya Larsen A tahun 1995 dan perpecahan dari rak Larsen B pada 2002.
Proyek tersebut menyelidiki dampak iklim pemanasan melalui kombinasi kerja lapangan, pengamatan satelit dan simulasi komputer, menggambarkan gunung es sebagai salah satu yang terbesar yang pernah tercatat. Peneliti menyarankan gunung es kemungkinan akan pecah menjadi fragmen dan beberapa es dapat tinggal di dekatnya selama beberapa dekade,
Namun periset mengatakan masih banyak penelitian perlu dilakukan untuk menentukan penyebabnya. "Pada titik ini, terlalu dini untuk mengatakan ini disebabkan oleh pemanasan global," kata Pusat Pengamatan Polar dan Pemodelan di Universitas Leeds Anna Hogg.