Jumat 03 Feb 2017 10:41 WIB

Konferensi Peneliti Burung Indonesia Digelar di Bali

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Dwi Murdaningsih
 Pengunjung memotret koleksi burung elang bondol di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, Jumat (8/7).   (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pengunjung memotret koleksi burung elang bondol di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, Jumat (8/7). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia (KPPBI) III digelar di Bali, 2-4 Februari 2017. Konferensi ini bertujuan sebagai ajang tukar menukar informasi terkini tentang perburungan di Indonesia, meningkatkan jejaring di antara peneliti dan pemerhati burung dari berbagai kalangan serta pengembangan ilmu pengetahuan tentang burung di Indonesia.

Ketua Panitia KPPBI III Bali, Luh Putu Eswaryanti Kusuma Yuni mengatakan KPPBI III terdiri dari dua kegiatan, yaitu simposium nasional pada 2-3 Februari 2017 dan workshop 4 Februari 2017. Ada empat topik yang dibahas. "Topiknya adalah burung di habitat alaminya, burung di luar habitat alaminya atau habitat buatan,bkonservasi Curik Bali. Keempat, dan jurnalisme sains," kata Kusuma Yuni di Universitas Udayana, Kamis (3/2).

Para ahli dan praktisi burung di seluruh Indonesia, dan beberapa dari luar negeri hadir di konferensi ini, yaitu Australia, Amerika, Belanda, dan Jerman. Mereka berdiskusi dan memperluas jejaring guna menyelamatkan keberadaan burung di Indonesia.

Akademisi juga peneliti burung dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Ani Mardiastuti mencontohkan komunitas burung perlu beradaptasi untuk bertahan hidup pada habitat yang termodifikasi. Ini disebabkan semakin intensifnya pembangunan, sehingga banyak areal berupa lanskap yang didominasi manusia.

Ani melakukan penelitian pada 14 tipe habitat burung pada lanskap didominasi manusia, yaitu kompleks permukiman, perkantoran, pemakaman, taman kota, hutan kota, kebun raya, kampus universitas, persawahan, kebun dan ladang masyarakat, bandar udara, kebun sawit, kebun karet dan komoditas sejenis, hutan tanaman industri, dan areal pertambangan.

"Kami mengidentifikasi tipe-tipe habitat burung akibat dominasi manusia dan memetik pembelajaran penting dari hasil pengamatan yang dilakukan," kata Ani.

Banyak pembelajaran penting tentang burung pada habitat dominasi manusia, di antaranya, komunitas burung dapat segera beradaptasi pada lanskap yang didominasi manusia. Burung pemakan serangga (insektivor) dominan, sementara jenis pemangsa (raptor) jarang ditemukan.

Struktur dan komposisi habitat, kata Ani menentukan jumlah dan komposisi burung. Subhabitat beragam meningkatkan keberagaman burung, misalnya keberadaan situ atau danau kecil.

Akademisi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ignatius Pramana Yuda mengatakan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis burung sangat tinggi, namun memiliki daftar panjang jenis burung terancam punah. Konservasi burung berbasis ilmu pengetahuan di Indonesia sering terkendala terbatasnya jumlah peneliti.

"Ini menyebabkam terbatasnya riset dan data. Pendekatan citizen science menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalah tersebut," kata Ignatius.

Penelitian Ignatius mencoba mengevaluasi tiga program pengamatan atau penelitian burung menggunakan pendekatan citizen science. Ketiga program penelitian burung tersebut adalah Asian Waterbird Cencus (AWC), Pemantauan Burung Pemangsa Migran, dan Monitoring Burung Pantai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement