Selasa 21 Jun 2016 21:14 WIB

BRTI Harus Tuntaskan Tuduhan Monopoli Industri Seluler

Kampanye Indosat Ooredoo yang dinilai menyerang Telkomsel.
Kampanye Indosat Ooredoo yang dinilai menyerang Telkomsel.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat teknologi, informasi dan telekomunikasi (ICT), Kamilov Sagala meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) segera menangani kisruh adanya tuduhan praktik monopoli di luar Jawa pada industri seluler.

"BRTI harus melihat masalah tuduh-menuduh monopoli ini secara jernih. Jika ada yang kampanye pemasaran lewat media sosial dan menuding operator melakukan praktik monopoli, itu tidak etis di era persaingan bebas," kata Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), Kamilov Sagala di Jakarta, Selasa.

Menurut Kamilov, BRTI harus turun tangan dan bisa menindak tegas pihak-pihak yang bermasalah dalam sengketa ini.

Ia menjelaskan, kampanye yang membandingkan tarif layanan dengan operator lain serta menuduh melakukan monopoli itu melanggar etika pariwara.

Sebelumnya diberitakan terjadi kisruh antara Telkomsel dan Indosat Ooredoo. Telkomsel dinilai melakukan praktik monopoli karena menjadi operator dominan menguasai pangsa pasar di luar Jawa.

Namun, Telkomsel menegaskan penguasaan pasar di luar Pulau Jawa diraih melalui sebuah proses yang panjang dan jatuh bangun yang luar biasa sejak berdirinya di tahun 1995.

Menurut Kamilov, soal isu monopoli kalau memang ada sebaiknya dilaporkan saja ke regulator, tidak harus membuat gaduh terlebih dahulu di media sosial.

Ia berpandangan bahwa isu monopoli di luar Jawa tak relevan, karena keduanya sama-sama punya lisensi seluler.

"Bedanya yang satu (Telkomsel) bangun terus, satu lagi (Indosat) baru mulai gencar bangun. Yang baru masuk ibaratnya ingin mengambil ikan di dalam kolam yang jernih, tapi membuat airnya keruh. Keduanya 'bertempur', bisa membuat kalitas layanan menurun," katanya.

Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi mengungkapkan tidak relevan menggunakan alasan belum terjadinya penurunan biaya interkoneksi sehingga kompetisi menjadi tak kompetitif.

"Komponen biaya interkoneksi itu tidak terlalu signifikan, dan tidak bisa dijadikan alasan, karena sebenarnya biaya interkoneksi muncul akibat adanya perbedaan coverage layanan dari para operator," kata Ridwan.

Ia menjelaskan, operator tidak boleh mengambil untung dari intekoneksi karena itu perhitungan berbasis biaya.

"Ini kan recovery cost. Hanya harga dasarnya saja yang dibayar. Teorinya, kalau jaringan sudah mature, tarif interkoneksi akan terus turun," ujar Ridwan.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement