REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pengamat dan penggiat telekomunikasi menilai penurunan tarif interkoneksi secara signifikan akan mencegah potensi monopoli terutama di luar Pulau Jawa. Soalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif berpotensi menjadi tak wajar.
Penilaian tersebut disampaikan oleh Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, saat ditanyai terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi, di Jakarta, kemarin. "Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Ahad (19/6).
Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing," paparnya.
Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
Heru menambahkan pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini. Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.
Dia menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator. Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli. "Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.
Masyarakat cenderung memilih operator yang murah biaya telepon sesama operator. Mungkin menurut sebagian kalangan hal ini wajar saja, namun Heru menilai, adanya kecurangan berusaha. Pasalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator itu yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif menjadi tak wajar. Kasus seperti itu banyak ditemui di Indonesia bagian timur.
Sementara membangun infrastruktur penunjang luas jaringan tak bisa dikatakan murah. Sehingga memang tak semua operator bisa menjangkau daerah terluar Indonesia yang sedang berkembang. “Nah, tarif interkoneksi atau off-net yang murah antar provider bisa dijadikan solusi mengatasi kebuntuan itu,” paparnya.
Pandangan senada disampaikan Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, yang melihat bahwa penurunan tarif interkoneksi mesti dilakukan pemerintah guna mengintervensi pasar telekomunikasi agar tak terjadi praktek monopoli. Meski demikian, dia menilai terjadi anomali atau ketidaksesuaian dari para operator dalam skema penghitungan tarif interkoneksi.
Nonot menjelaskan, dalam menghitung tarif tersebut pemerintah mendesain sebuah rumusan khusus. Nah, para operator telekomunikasi tinggal menyediakan data yang diinput ke rumus tersebut. Seharusnya, hasil penghitungan atau angka nominal tarif interkoneksi tidak terpaut jauh.
Sebab, para operator berada di suatu negara dengan budaya yang serupa. Artinya, kemampuan bayar dari mayoritas masyarakat juga pasti tak jauh berbeda. Tapi Nonot menemukan, ada raksasa bisnis teknologi informasi (TI) di Indonesia yang tarif interkoneksinya malah menggelembung dua kali lipat.
"Ini tidak sesuai dengan sifat alamiah, ilmu pasar yang lazim kalau skala ekonominya besar pasti lebih efisien, tapi ini kok mahal," ujar Nonot kepada wartawan, kemarin.
Menurut dia, penurunan tarif interkoneksi hingga 40 persen sangatlah wajar jika mengacu pada hasil perhitungan pemerintah dari para operator. Terlebih lagi, hasil rumusan tarif interkoneksi dari pemerintah juga mengungkap bahwa pemain dominan meraup hasil hingga dua kali lipat jika dibandingkan operator lain.