Selasa 22 Mar 2016 11:42 WIB

Tarif Interkoneksi Rendah Bikin Investor Malas Investasi Jaringan

Petugas Balai Monitoring (Balmon) Aceh mengawasi frekuensi komunikasi Base Transceiver Station (BTS) di Banda Aceh, Aceh, Kamis (17/3).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Petugas Balai Monitoring (Balmon) Aceh mengawasi frekuensi komunikasi Base Transceiver Station (BTS) di Banda Aceh, Aceh, Kamis (17/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --– Keinginan Menkominfo Rudiantara untuk menurunkan biaya interkoneksi lebih dari 10 persen justru dapat memicu kemalasan operator seluler untuk melakukan investasi jaringan hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya biaya interkoneksi yang jauh lebih rendah dari biaya investasi dapat memicu ketidakadilan dalam industri.

Demikian dikatakan oleh Dr.Ir. Ian Yoseph, Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB, anggota Center for Telecommunication Policy and Regulatory. Menurutnya, biaya jaringan operator tujuan ditentukan oleh biaya investasi penggelaran jaringan operator tujuan.

Biaya investasi ini dipengaruhi oleh coverage, trafik yang disalurkan dan utilisasi jaringan. Semakin besar wilayah layanan operator maka semakin tinggi investasi per menit panggilan. Biaya ini akan lebih tinggi lagi apabila operator menggelar jaringan ke perdesaan.

“Dengan kondisi ini akan ada operator yang diuntungkan apabila biaya aktual investasi jaringan lebih rendah daripada biaya interkoneksi yang diperoleh dari operator lain. Sebaliknya ada juga operator akan dirugikan apabila tarif interkoneksi yang diimplementasikan dibawah biaya jaringan operator tersebut,” ujar Ian Yoseph.

Oleh karena itu, Ian menyarankan agar pemerintah seharusnya menetapkan kenaikan atau penurunan tarif interkoneksi itu sesuai dengan kondisi biaya investasi masing-masing operator. “Kami sangat mendukung langkah Pemerintah berusaha menurunkan tarif retail lintas operator, namun demi kesinambungan industri biaya interkoneksi sebaiknya disesuaikan dengan biaya investasi masing-masing operator,” lanjutnya.

Sebagaimana diketahui, Menkominfo Rudiantara bersikukuh menurunkan biaya interkoneksi lebih dari 10 persen, meskipun dalam Peraturan Menkominfo No.8/2006 yang menjadi payung hukum disebutkan dalam penentuan tarif interkoneksi menjamin pelaksanaan interkoneksi yang transparan, non-diskriminatif dan mengedepankan prinsip cost-based (sesuai biaya) yang dipandang lebih adil bagi para penyelenggara yang berinterkoneksi.

Sikap Rudiantara ini sejalan dengan CEO XL Axiata Dian Siswarini. Bahkan Dian berharap biaya interkoneksi bisa turun sangat signifikan. “Harapan kita lebih jauh dari 10%, harusnya turunnya lebih banyak, minimal 40%. Kalau turun segitu, tarif retil akan lebih kompetitif,” ujar Dian akhir pekan lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement