REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono mengatakan bahwa Guard Band memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Alumni ITS Surabaya ini berpendapat, regulator selayaknya menjadi wasit telekomunikasi. Sehingga seluruh operator mendapatkan jaminan alokasi frekuensi yng diperolehnya telah bebas dari interferensi.
Nonot menjelaskan, dalam penataan ini nantinya ada dua teknologi yang berbeda namun berdampingan. Maka, sangat diperlukan Guard Band yang harus disediakan pemerintah sebagai pemisah.
"Sungguh tidak logis bila Guard Band dilelang apalagi bila hanya untuk mendapatkan tambahan PNBP,” tegas Nonot.
Blok 850 MHz saat ini dimanfaatkan oleh empat operator telekomunikasi untuk melayani kebutuhan pengguna: Bakrie Telecom (Esia), Telkom (Flexi), Smartfren, serta Indosat (Star One). Untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang semakin pesat, pemerintah menata kembali penggunaan pita frekuensi 850 MHz.
Dalam rangka merealisasikan penataan pita frekuensi 850MHz, maka Kemenkominfo menempatkan Telkom dan Indosat di alokasikan pada frekuensi 882,5-890 MHz (uplink 3GPP) sedangkan BTel dan Smartfren dialokasikan pada frekuensi 870-880 MHz (downlink 3GPP2).
Pengaturan tersebut menurut Nonot adalah mekanisme koordinasi pemerintah terkait perubahan rencana bisnis operator CDMA. “Indosat dan Telkom akan mengakhiri CDMA mereka, sementara BTel dan Smartfren masih akan bertahan dengan CDMA hingga 3-5 tahun ke depan,” ujar Nonot.
Ia pun menilai, penataan pita frekuensi 850 Mhz tidak mengarah pada pembentukan netral teknologi. Pengaturan ini menurut Nonot murni realokasi pita frekuensi menjadi dua bagian.
“Band A (Btel & Smartfren) tetap sebagai pita CDMA dan Band B (Indosat & Telkom) digabung ke pita 900 GSM/UMTS, sehingga bukan netral teknologi yang dibahas, tetapi co-existence CDMA dan GSM yang wajib disediakan guardband," jelasnya.