Sabtu 14 Jul 2012 03:00 WIB

Asteroid Sebenarnya Punya Siapa? (Saling Klaim Antarnegara)

Rep: rahmad budi harto/ Red: M Irwan Ariefyanto
Asteroid Jatuh
Foto: news.discovery.com
Asteroid Jatuh

REPUBLIKA.CO.ID,Kekhawatiran para ahli hukum mengenai aksi saling klaim di antariksa ini memang beralasan. Belum apa-apa, CEO Orbital Development Gregory Ne mitz telah menggugat Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) mengenai status kepemilikan atas asteroid 433 Eros. Nemitz mengklaim asteroid itu 11 bulan sebelum NASA mendaratkan wahana NEAR Shoemaker di batuan angkasa itu pada Februari 2001.

Klaim itu didasarkan pada sepersepuluh hukum properti AS yang mengakui hak milik sebelum ada kepemilikan aktual. Menurut Nemitz, hukum yang sudah berumur ratusan tahun itu mengakui bahwa klaim ada lah valid sampai tahap kepemilikan sesungguhnya. ‘’Setiap orang tahu bahwa kepemilikan adalah sembilan per 10 dari hak milik,’’ kata Nemitz.

Langkah Nemitz itu ternyata bukan untuk mengklaim kepemilikan atas asteroid, namun bertujuan agar memperoleh perhatian dari Pemerintah AS mengenai hak milik di antariksa. ‘’Tujuan kedua adalah untuk mendorong pembicaraan internasional mengenai isu itu,’’ kata Nemitz saat menghadiri pertemuan di Colorado itu.

Tujuan pertama gagal. Pengadilan Federal dan pengadilan banding Amerika menolak untuk membahas klaim Nemitz atas asteroid Eros dengan alasan teknis, ‘’Dibatalkan karena kurangnya teori hukum yang dikenal”. Artinya, masalah klaim atas asteroid ini memang belum diatur hukumnya. Sementara, tujuan kedua menuai sukses. Dalam satu dekade ini, banyak konferensi bertema antariksa yang memasukkan isu hak milik benda antariksa dalam diskusi mereka.

Karena itu, Nemitz meyakini dalam beberapa tahun mendatang klaim atas benda-benda angkasa bakal menjadi hal yang lumrah. Namun, tentu saja tak bisa sembarang klaim hanya dengan mengaku melihatnya lebih dulu. Nemitz mencontohkan, klaim atas asteroid bisa dilakukan dengan menempatkan penanda klaim seperti pemancar radio. Bulan tentu tak bisa diklaim dengan cara itu. Nemits mengusulkan pembatasan wilayah misalnya seluas 50 ribu akre atau 20 ribu hektare yang merupakan batas ekonomis bagi aktivitas pertambangan.

Nemitz sependapat dengan prediksi Gertsch yang berdasarkan pada klausul bahwa hukum itu mengikuti perbuatan manusia, bukan mendahuluinya. Artinya, jika ada perusahaan yang mulai melakukan perjalanan antariksa untuk menancapkan klaim mereka, hukum hak milik properti antariksa tentu akan dibuat. Hukum itu mungkin berlaku juga untuk klaim yang dibuat sebelumnya. ‘’Lalu, pihak pemilik klaim itu yang bisa menentukan rezim hak milik properti di antariksa,’’ kata Nemitz. Dalam bahasa sederhana, hanya mereka yang berhasil melakukan eksplorasi dan eksploitasi antariksa itulah yang nantinya akan mengatur mengenai hukum hak milik properti antariksa.

Ini seperti kasus Benua Antartika. Traktat Antartika yang sudah ditandatangani 50 negara itu tak mengakui atau mempermasalahkan klaim tujuh negara yang beberapa di antaranya saling tumpang tindih di Kutub Selatan, seperti antara Inggris, Argentina, dan Chile. Saat ini, wilayah Antartika sepertinya me mang dikendalikan oleh tujuh negara pengklaim itu yang masih bisa menghargai klaim negara lainnya. Sementara itu, negara dunia lain yang tak ikut dalam Liga Antartika hanya menjadi penonton. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement