REPUBLIKA.CO.ID, Perseteruan panas terjadi antara mereka yang bergerak di industri film dan teknologi cyber di AS. Penyebab utama adalah paket rancangan undang-undang anti pembajakan yang tengah digodok dalam Kongres AS.
Tak lama lagi, bisa jadi internet di Amerika Serikat akan menyerupai Cina dan Iran yang menerapkan tembok masif sensor. Dalam paket RUU itu terdapat SOPA (Stop Online Piracy Act) dan PIPA (Protec IP Act) yang mengatur penanganan pembajakan hak kekayaan intelektual di dunia maya.
Setelah beberapa kali dibahas isyarat bahwa RUU itu bakal disahkan kian menguat. Kedua partai dalam kongres, Demokrat dan Republik, seperti dilaporkan The Hill, tidak keberatan dengan paket RUU anti pembajakan itu.
Lalu apa yang dicemaskan dari paket tersebut bila resmi menjadi undang-undang? Seorang jaksa bisa memerintahkan penutupan sebuah situs yang diduga memuat materi bajakan. Apabila situs tersebut di luar Amerika, maka penyedia jasa layanan internet (ISP) diwajibkan memblokir akses ke situs tersebut.
Prakteknya mirip dengan di Cina. Bila ada netter mengetik 'Tibet' atau 'Tianamen' di negeri tirai bambu itu dipastikan tak ditemukan hasil pencarian di Google. Begitu pula yang terjadi bila RUU disahkan di AS. Pengguna internet yang mengetik 'Josh Groban gratis' misal, bakal kecewa karena tiada hasil yang didapat, berapa kali pun mereka memencet keyboard dan mengucek-kucek mata.
Namun RUU juga berpotensi memberi ancaman lebih dari itu karena definisi situs pembajak yang diusung SOPA dianggap teralu luas. SOPA tak hanya mengancam situs-situs 'bawah tanah' yang menyediakan lagu-lagu atau film gratis. Situs yang dianggap dan dicurigai 'mempermudah atau memfasilitasi' materi bajakan bisa ikut disikat.
Saat seorang penonton konser merekam penampilan idolanya lewat ponsel lalu mengunggah ke situs video-sharing YouTube tanpa izin distributor atau pemegang hak cipta misal, menurut RUU tersebut YouTube dianggap memfasilitasi pelanggaran hak cipta. Konsekuensinya YouTube harus diblok. Alhasil tak mustahil satu situs berisi puluhan ribu halaman bisa dimatikan hanya gara-gara satu halaman mengandung unsur pelanggaran hak cipta.
Tentu saja itu membuat para raksasa sekelas Google, Yahoo, Facebook dan Mozilla berteriak. Bila anda masih ingat, Mozilla sepanjang Desember lalu selalu menayangkan kalimat yang berbunyi "Kongres berusaha menyensor internet. Bantu Mozilla untuk memperjuangkan internet yang bebas dan terbuka. Bergabunglah sekarang.". Saat kalimat itu diklik, pesan itu membawa ke tautan penjelasan apa itu SOPA dan PIPA.
Pada pertengahan Desember lalu, koalisi anti-SOPA itu memasang iklan satu halaman penuh di hampir semua media massa nasional. Tak tanggung-tanggung, Google bahkan menyewa 15 firma pelobi untuk menghadang paket RUU itu tidak sampai disahkan.
Tapi, musuh yang dihadapi anti-SOPA tidak enteng, mereka lawan sekaliber. Maklum industri musik, film dan kamar dagang Amerika berada dibalik RUU tersebut. Salah satunya Asosiasi Distributor Film Amerika (MPPAA) organisasi yang membawahi nama beken seperti Universal Pictures, Sony, Warner Bros dan 20th Century Fox. MPPA selama ini dikenal getol menarget situs luar agar tak bisa diakses warga AS dan dipandang sebagai pihak selalu kalah bila berhadapan pembajak asing.
Hampir semua media massa mengecam. New York Times misal, mengkritik RUU itu dalam editorialnya. Tak ketinggalan situs-situs teknologi yang ikut menyuarakan tentangan keras. Tech Dirt menulis, "SOPA dan PIPA bisa membuat perusahaan penyedia layanan internet memasang sistem sensor seperti Cina dan Iran,".
Gerakan anti-SOPA memang kuat, tapi mereka di luar Kongres. Sedangkan dalam Kongres dukungan terhadap paket terdiri dua RUU itu juga sangat serius. Pertempuran dua kubu pro dan anti RUU yang kerap dilabeli 'Hollywood vs Silicon Valley' ini bisa jadi dimenangkan kubu Hollywood'.