Selasa 19 Apr 2011 18:38 WIB

Jadi Kebutuhan Dasar Masyarakat, Saatnya Broadband Menjadi PSO?

Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno
Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah perlu melakukan redefinisi mengenai broadband atau jaringan pita lebar. Redefinisi broadband diperlukan karena broadband akan menjadi kebutuhan dasar setelah kebutuhan dasar akan layanan telekomunikasi telah terpenuhi.

Pandangan mengenai redefinisi broadband dilontarkan Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno. Sarwoto yang juga ketua umum asosiasi telekomunikasi seluler Indonesia (ATSI) mengingatkan bahwa redefinisi ulang diperlukan, karena broadband bakal menjadi kebutuhan dasar masyarakat.

''Kalau kita lihat, kebutuhan dasar telekomunikasi telah terpenuhi. Setelah telekomunikasi terpenuhi, broadband akan menjadi kebutuhan dasar masyarakat,'' kata Sarwoto. Karena itulah perlu redefinisi mengenai broadband, apalagi broadband akan menjadi kebutuhan dasar masyarakat di Indonesia.

Dalam pandangan Sarwoto, Broadband idealnya menjadi public servuce obligation (PSO). Sarwoto menyebut hal ini menjadi salah satu alternatif yang ideal. Di sejumlah negara, telah diterapkan pendekatan ini, seperti Malaysia dan Singapura.

''Singapura misalnya. Setelah berhasil memenuhi kebutuhan 200 Mbps per orang, kini tengah meningkatkan alokasi menjadi 1 GBps per orang. Kita mau tidak mau akan memasuki era seperti ini,'' kata Sarwoto.

Bagaimana dengan universal services obligation (USO). Belajar dari pengalaman telepon yang menggunakan mekanisme USO, PSO lebih cocok untuk broadband. '' Pada USO pemerintah hanya membeli servicenya saja,'' papar Sarwoto.

Pada broadband dibutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur berskala besar dan investasi yang sangat besar pula. Pada saat yang sama, ada kecenderungan harga atau tarif layanan broadband terus mengalami penurunan yang signifikan. Bila semuanya dibebankan kepada swasta, ada kecenderungan operator hanya akan mengembangkan layanan di daerah-daerah potensial saja.

Pada laman Kementrian Keuangan, disebutkan bahwa PSO adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik).

Dasar hukum PSO adalah Undang-Undang RI No 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 66 ayat 1. Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tersebut, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.

Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak visibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan. Dalam hal ini, terdapat intervensi politik dalam penetapan harga. Program PSO mulai diterapkan tahun 2004.

Adapun BUMN yang diberikan tugas PSO adalah BUMN-BUMN yang bergerak di bidang transportasi dan komunikasi, seperti PT Kereta Api (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan kereta api kelas ekonomi, PT  Pos Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa pos pada kantor cabang luar kota dan daerah terpencil, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk tugas layanan jasa angkutan laut kelas ekonomi, dan PT TVRI (Persero) antara lain untuk program penyiaran publik.

Mengamati perkembangan yang terjadi sekarang, tampaknya PSO untuk layanan broadband diperlukan. Ekspansi operator telekomunikasi dan tuntasnya program universal dervices obligation (USO) telah berhasil menyediakan akses telekomunikasi hingga ke desa-desa. Program USO misalnya, menyediakan infrastruktur telekomunikasi lebih dari 31 ribu titik di desa yang belum memiliki akses telekomunikasi. Sebanyak 25 ribu diantaranya dibangun oleh Telkomsel selaku salah satu pemenang tender USO.

Program USO telah berhasil mengakselerasi penyediaan layanan telekomunikasi di Indonesia. Fenomena ini juga menggambarkan bahwa dari sisi inftrastruktur dan ketersediaan layanan, kebutuhan dasar telekomunikasi di Indonesia telah terpenuhi.

 Sarwoto sependapat bahwa kebutuhan dasar telekomunikasi berhasil dipenuhi. ''Kalau dulu kita selalu berpikir populasi sekian membutuhkan sekian satuan sambungan telepon, sekarang hal itu tidak relevan lagi. Yang dipikirkan sekarang adalah untuk setiap populasi, berapa mega bits data yang harus disiapkan,'' kata Sarwoto. Mengingat pengguna internet terus mengalami peningkatan dan makin meluas dari sisi geografi.

Realitas seperti ini membutuhkan ketersediaan akses telekomunikasi berkapasitas besar dan merata. Yang menjadi masalah kemudian adalah transmisi. Pasalnya, transmisi untuk mendukung layanan broadband sangat terbatas sekali. Mau tidak mau, investasi besar harus digelontorkan untuk membangun transmisi yang memadai.

Sekadar mengingatkan, untuk membangun jaringan transmisi serat optik untuk wilayah Indonesia bagian Timur--dikenal dengan Palapa Ring--, membutuhkan dana tak kurang dari Rp 15 triliun. Program yang dicanangkan sejak beberapa tahun lalu ini realisasinya tersendat-sendat. Konsorsium yang sebelumnya berkomitmen membangun jaringan ini belakangan mundur satu persatu.

Sejauh ini, Telkomsel bersama induknya Telkom, berkomitmen membangun infratsruktur serat optik di wilayah Indonesia bagian Timur. Namun, memperhatikan besarnya investasi, dua operator ini tentu saja tidak bisa membangun transmisi secara masif. Mereka harus menerapkan skala prioritas untuk membangun infrastruktur, karena harus mempertimbangkan return of invesment disamping besaran belanja modal yang dimiliki.

''Investasinya sangat besar sekali, sementara revenue belum tentu sebanding. Namun sudah menjadi komitmen kami menyediakan layanan broadband,'' kata Sarwoto. Telkomsel saat ini tengah mengembangkan broadband city.

Dalam dua tahun terakhir ada 40 kota yang telah berstatus broadband city. Bila dikaitkan dengan jumlah kabupaten/kota, broadband city yang dikembangkan Telkomsel baru sekitar 10 persen saja. Untuk menjadikan 410 kota lain menjadi broadband city, butuh waktu belasan bahkan puluhan tahun.Untuk mempercepatnya, tentu saja membutuhkan program akselerasi, antara lain penyediaan transmisi yang masif.

Dalam konteks inilah peran pemerintah sangat penting. Salah satu pendekatan adalah menjadikan broadband sebagai PSO. '' Kalau ini diterapkan, operator akan dengan senang hati membangun transmisi dan mengembangkan broadband secara masif,'' ujar Sarwoto.

Pendekatan lain adalah melalui mekanisme ICT Funds. Dana yang berhasil dihimpun dimanfatkan untuk membangun transmisi. Transmisi yang ada kemudian digunakan oleh operator dengan mekanisme sewa atau mekanisme lain.

Insentif juga dinilai bisa mendorong operator lebih agresif lagi membangun transmisi dan mengembangkan broadband. Ditanya mengenai kemungkinan Telkomsel dibebaskan membayar iuran USO, tetapi dana itu dialihkan untuk pembangunan transmisi untuk mendukung broadband, Sarwoto sependapat. '' Setahun iuran USO Telkomsel bisa mencapai Rp 75 miliar, kalau dana ini bisa digunakan untuk membangun transmisi broadband kami akan senang sekali,'' kata Sarwoto.

Pengalihan dana USO disebut Sarwoto bisa membantu mempercepat pembangunan transmisi broadband. '' Untuk pengembangan broadband operator butuh dukungan dan insentif dari pemerintah,'' kata Sarwoto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement