Kamis 14 Apr 2011 16:08 WIB

Spesies Baru Eksotik di Antologi "Still Counting..."

Gambar 1: ET Salamander nama latin Bolitoglossa sp. nov
Foto: © Jessica Deichmann
Gambar 1: ET Salamander nama latin Bolitoglossa sp. nov

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam 20 tahun studi lapangan Program Kaji Cepat (Rapid Assessment Program/RAP) yang ddilakukan oleh Conservation International (CI) telah ditemukan ribuan spesies baru di muka bumi.

CI kemudian mengompilasi temuan itu dalam buku "Still Counting..." yang disunting oleh Direktur RAP, Leeanne Alonso dengan banyak ilmuwan lain. Buku tersebut menceritakan kembali tantangan fisik dan pribadi yang dialami oleh para ilmuwan. Tentu tak ketinggalan didalamnya terdapat lebih dari 400 foto berwarna yang menakjubkan dari spesies langka dan menarik di seluruh dunia.

Spesies baru yang berhasil ditemukan di antaranya, Kadal buntut daun Setan atau dalam nama ilmiahnya phantasticus Uroplatus dari Madagaskar, ET salamander dengan nama ilmiah Bolitoglossa sp November dari Ekuador dan Smoky honeyeater bernama ilmiah Melipotes carolae berlokasi di Indonesia.

Keterangan Gambar

Gambar 1

SPESIES BARU: ET Salamander nama latin Bolitoglossa sp. nov. Spesies ini ditemukan dalam ekspedisi Conservation International Rapid Assessment Program (RAP) di Ekuador pada 2009. Genus salamander memiliki kaki dengan selaput di antara jari-jari yang membantu mereka merayap tinggi hingga ke bagian kanopi hutan tropis. Mereka juga tak memiliki paru-paru. Alih-alih mereka bernafas lewat kulit. Spesies baru ini ditemukan di hutan basah tepuis di selatan Ekuador

Foto © Jessica Deichmann

Gambar 2

SPESIES BARU: Katak (Litoria sp. nov.) ini ditemukan dalam ekspedisi Conservation International Rapid Assessment Program (RAP) expedition di Gunung Foja, Propinsi Papua, Indonesia pada 2008. Katak terebut memiliki benjolan panjang mirip pinokio di hidungnya yang mengarah ke atas ketika pejantan memanggil. Namun benjolan itu melendut ke bawah ketika tidak ada aktifitas,

Bagian tubuh itu khususnya menjadi temuan membedakan yang membuat ilmuwa tertarik mendokumentasikan dan memelajari lebih jauh. Proses penemuan merupakan insiden gembira, setelah pakar herpetologi, Paul Oliver melihatnya duduk di atas karung beras dalam kemah ekspedisi.

Keberlimpahan dan keberagaman amfibi adalah indikator kesehatan ekosistem secara umum. Amfibi sering dianggap sebagai 'kenari dalam tambang batubara. (Ini sungguh referensi yang dilebihkan namun benar dan penting). Kondisi dimungkinkan karena amfibi memiliki kulit yang dapat ditembus (permeable) sehinggam ereka dengan mudah menyerap racun dan polutan ketika terpapar.

Sifat tubuh ini menjadikan amfibi adalah salah satu dari beberapa spesies pertama yang hilang dari ekosistem ketika lingkungan mulai tidak sehat. Lenyapnya amfibi dapat dijadikan tanda peringatan dini bahwa sesuatu yang buruk terjadi di lingkungan, termasuk lingkungan yang ditinggali manusia.

Foto © Tim Laman

Gambar 3

SPESIES BARU: Tikus Pohon Chinchilla (Cuscomys ashaninka). Tikus ini ditemukan di Cordillera de Vilcabamba, Peruvian Andes,  Peru utara pada 1997.

Penemuan spesies ini terjadi dalam satu dari rangkaian ekspedisi yang dilakukan antara 1997 dan 1998. Ekspedisi dipimpin oleh Conservation International’s Rapid Assessment Program dan Monitoring and Assessment of Biodiversity Program dari Smithsonian, yang secara resmi dikenal Program Manusia dan Biosfer.

Survei dilakukan di Cordillera de Vilcbamba, wilayah Peru dengan alasan ketinggian dan varietas jenis habitas yang merentang luas. Didorong itu, para pakar biologi pun meyakini kawasan memiliki sumber biodiversitas tumbuhan dan binatang kaya, yang mungkin berpotensi baru bagi sains.

Ekspedisi melakukan survei awal terhadap beberapa tumbuhan dan hewan yang dipilih untuk membantu mendukung upaya konservasi regional. Tikus pohon chinchilla ditemukan di kawasan pegunungan Vilcabamba, sangat dekat dengan reruntuhan ternama Macchu Picchu.

Penemuan itu kontan menjadi temuan sangat unit karena ukuran tak biasa spesies tersebut (sebesar kucing rumahan). Tikus berwarna abu-abu pucat, bertubuh kekar, memiliki cakar besar dan ditandai garis putih di kepala. Spesies itu dianggap masih memiliki kekerabatan dengan tikus chinchilla yang diketahui dikubur bersama orang suku Inca.

Fakta bahwa ini adalah genus baru, membuat penemuan menjadi kian menarik. Pasalnya tikus itu mengarah pada lebih banyak spesies sejenis yang menunggu ditemukan.

Penemu Dr. Louise Emmons, Smithsonian Research Institute, Washington DC, AS

Foto © Louise Emmons

Gambar 4

BARU DALAM SAINS (Telah diobservasi sebelumnya) Hewan ini pernah dilihat sebelumnya namun masih menjadi spesis yang belum bisa dijelaskan dan tersebar di Papua New Guinea. Kelalawar ini pernah diamati oleh peneliti dari Rapid Assessment Program (RAP) Conservation International pada 2009.

Kelelawar buah berhitung botol dengan nama latin Nyctimene sp, dari pegunungan Muller Range, belum memiliki nama namun ditemukan di bagian lain New Guinea. Sepertinya penyebaran spesies ini terbatas pada perbukitan dan hutan pulau tersebut. Kelelawar buah sangat penting dalam penyebaran benih di hutan tropis.

Foto © Piotr Naskrecki

Gambar 5

SPESIES BARU: Satu jenis spesies baru bernama si Pemakan Madu Smoky ditemukan dalam ekspedisi Rapid Rapid Assessment Program (RAP), CI di Gunung Foja Propinsi Papua, Pulau Papua New Guinea, Indonesia pada 2005.

Burung pemakan madu ini ditemukan di ketinggia 1.650 meter di atas permukaan laut di Gunung Foja, bagian barat Papua.

Burung penyanyi berwarna kelabu lembut ini memilki paruh hitam, dan setiap mata dikelilingi kulit berwarna oranye terang, di bawahnya ada tonjolan menggantung seperti lionting. Fitur-fitur tadi membedakan si burung dari Pemakan Madu Smoky umum lainnya yang tersebar luas. Sebagai tambahan spesies ini juga lebih pendiam, sangat jarang mengelurkan kicauan.

Pemakan Madu Smoky dengan liontin mata adalah penghuni umum yang kurang diketahui di di dataran tinggi Foja. Sesuai namanya, burung ini menyantap nektar sehingga membantu penyerbukan bunga, ia juga kadang memakan serangga yang berarti pula ikut menyeimbangkan populasi dan rantai makanan untuk hewan lebih besar.

Foto © Bruce Beeler

Gambar 6

SPESIES BARU: Paracheilinus nursalim ditemukan dalam ekspedisi Rapid Assessment Program (RAP)  Conservation International di  Papua Barat, Indonesia pada 2006 (Kawasan FakFak/Kaimana)

Pejantan biasanya melakukan ritual cumbuan mengagumkan di mana warna 'elektrik' berpijar secara periodik untuk menarik betina terdekat. Tarian cumbuan dilakukan setiap siang menjelang sore, dimulai satu jam sebelum matahari terbenam dan terus hingga senja.

Mulut dan bibir yang mengalami modifikasi menjadikan ikan dapat makan, bernafas dan melekat kepada permukaan dengan menyedot. Pengasuhan ikan dewasa terhadap telur-telur mereka, berkembang lebih baik di mana pejantan dewasa biasanya menjaga telur dan kadang larva ikan.

Spesies itu dinamai istri keluarga Anggota Dewan CI, Enki Tan, yakni Cherie Nursalim. Mereka sempat menjadi donatur Head Seascape Bird, lembaga prioritas global untuk konservasi laut.

Foto © Gerald Allen

Gambar 7

SPESIES BARU: Hiu Merangkak (Hemiscyllium galei). Spesies ini ditemukan dalam satu ekspedisi Conservation International Rapid Assessment Program (RAP) di pantai Cenderawasih, Indonesia, 2006.

Jangan tertipu dengan namanya, hiu itu tentu bisa berenang! Hanya saja ia lebih suka berjalan di karang-karang rata perairan dangkal dengnan siripnya untuk memangsa udang, kepiting, siput dan ikan-ikan kecil lain. Mereka kerap muncul di atas koral untuk menunjukkan figurnya yang megah memanjang kemudian dengan cepat kembali menyelam ke sarang karang mereka.

Penemuan hiu tersebut dalam survey MarineRAP sempat menimbulkan sensai media.

Foto © Gerald Allen

Gambar 8

Kalajengking Kaisar (Pandinus Imperator). Dengan tubuh berukuran 8 inchi atau 20,5 senti meter, menjadikan hewan ini kalajengking terbesar di dunia, meski menurut laporan satu spesies dari India dikabarkan sedikit lebih panjang. Hewan ini ditemukan dan diobservasi oleh para ilmuwan dari Rapid Assessment Program Conservation International di Ghana pada 2006.

Terlepas dari bentuknya yang besar dan cukup intimidatif, mereka ternyata hanya memangsa serangga dari jenis rayap dan hewan lunak kecil lain. Racunnya pun tidak berbahaya bagi manusia. Racun spesies ini mengandung senyawa yang telah diuji berpotensi menghasilkan obat untuk mengendalikan arrhythmia (istilah penyakit jantung). Tak hanya itu, betakarboline warna biru besifat fluorisensi yang melapisi cangkangnya--terlihat jelas hanya dengan cahaya ultraviolet) telah dikaji untuk melihat potensi sebagai penangkal penurunan protein oksidatif dalam lensa manusia yang mengakibatkan katarak.

Foto © Piotr Naskrecki

sumber : Conservation International
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement