Rabu 15 Sep 2010 05:44 WIB

Sambutlah Revolusi di Dunia Peta

Rep: Agung Sasongko/ Red: irf
Peta, ilustrasi
Foto: guardian
Peta, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Setelah E-book menjadi bentuk evolusi cara baru membaca buku, perubahan kembali berlanjut dengan munculnya peta digital. Implikasinya adalah dahulu masyarakat memandang peta merupakan bagian dari bentuk kebudayaan yang kaku. Pandangan itu berangsur berubah berkat kehadiran laman jejaring sosial berbasis lokasi macam Foursqure atau lebih dulu dengan adanya google maps.

Kolumnis Harian Guardian edisi online Guardian.co.uk, Victor Keegan menilai dinamisnya kehidupan masyarakat modern berhasil mengubah peta tidak lagi menjadi statis. Peta menjadi lebih berguna dan secara konstan diperbaharui oleh jutaan pengguna. " Kita tidak lagi mencari peta tapi kita yang dicari peta. Bayangkan peta begitu dekat dengan kita selama 24 jam penuh baik melalui komputer dan ponsel," seperti dikutip dari Guardian.co.uk, Selasa (14/9).

Keegan berpendapat peta tidak lagi menjadi barang kuno yang hanya diciptakan untuk keperluan disain interior atau bagian dari propaganda kekuasaan. Menurut dia, dengan peta seseorang tidak lagi kesulitan mencari jalan yang harus dilalui atau mencari mesin anjungan tunai mandiri (ATM) terdekat, lokasi wisata seperti museum dan restoran berikut dengan rekomendasi orang-orang yang pernah mengunjunginya."Dengan peta kita menjadi tahu bagaimana dekat taman-teman kita, atau mungkin sejenak bernostalgia seperti apa jalan yang dilalui 400 tahun lalu," kata dia.

Meski demikian Keegan mengakui, tak sedikit pihak yang mengaku khawatir dengan prospek keberadaan peta di masa depan. Apalagi dengan terbebasnya penggunaan satelit sebagai salah satu sumber data peta. Salah satu kekhawatiran itu, cerita Keegan, terungkap dalam pameran yang diselenggarakan oleh British Library dengan judul 'Revolusi Pemetaan'. Salah seorang pakar geografi, Ed Parson dan Pemilik OpenStreetMap, Steve Chilyon juga mengakui adanya pengaruh perubahan penggunaan peta pada masyarakat.

"Kita harus akui, ada kemungkinan pihak tak bertanggung jawab seperti hacker mengubah peta atau mungkin ada pemerintah sebuah negara yang memaksa Google dan pihak lain ntuk menyerahkan informasi yang cukup dengan cara ancaman pemblokiran," paparnya. Keegan menyebutkan ada satu negara yang dinilai begitu ceroboh dalam menyikapi persoalan ini. Negara itu bernama Jerman. Pemerintah negara itu memperbolehkan penggunaan Google Street View pada penggunaan ponsel android tapi tidak memperhatikan keamanan kartu identitas yang berada dalam kartu chips.

Keberadaan kartu chips tersebut bisa digunakan pelacakan informasi pribadi. "Untuk saat ini, saya melihat banyak cara yang memungkinkan kita untuk memegang kendali sebuah peta dengan memanfaatkan data publik yang tersedia. Dengan itu kita tahu dalam hitungan detik berapa banyak sepeda yang belum disewa dalam sebuah stasiun di London," katanya.

sumber : Guardian
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement