Ahad 15 Oct 2023 06:55 WIB

Heboh Beras Plastik, Ini Komentar Pakar Teknologi Pangan IPB

Beras plastik yang diklaim selama ini adalah hoaks.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Natalia Endah Hapsari
Isu beras plastik kembali merebak. Pakar teknologi pangan IPB memastikan hal tersebut hanyalah kabar palsu alias hoaks  (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Isu beras plastik kembali merebak. Pakar teknologi pangan IPB memastikan hal tersebut hanyalah kabar palsu alias hoaks (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR— Menanggapi isu beras plastik yang tengah jadi perbincangan, pakar teknologi pangan IPB University, Slamet Budijanto, mengatakan beras plastik yang diklaim selama ini ialah hoaks. Jikalau benar beras plastik ada, menurutnya hal itu tidak masuk akal.

Slamet mengatakan, apabila ada oknum yang membuat produk beras dari plastik, hal itu tidak masuk akal karena pembuatan biji plastik membutuhkan biaya produksi tinggi. Bahkan lebih mahal dari harga jual berasnya sendiri.

Baca Juga

Ia menyebut, harga satu kilogram biji plastik dari hasil daur ulang sudah mencapai Rp 20 ribu. Sedangkan, harga beras premium yang ada di pasaran saat ini berada di angka Rp 15 ribu.

“Anda bayangkan, beras premium saja paling Rp 12 ribu sampai Rp 15 ribu. Kalau hasil plastik recycle itu kemudian dibentuk seperti beras, kalau mau untung, mau dijual berapa? Ini jelas tidak masuk akal,” kata Slamet dalam keterangannya seperti dikutip pada Ahad (15/10/2023).

Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University itu menegaskan, semestinya istilah beras plastik itu tidak ada. Menurut dia, selama ini yang beredar adalah biji plastik yang bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk bisa menyerupai beras. “Sebagai peneliti, saya bisa memastikan bahwa yang diklaim sebagai beras plastik itu hoaks. Yang viral itu sebenarnya biji plastik, tapi dikasih nama beras plastik. Itu adalah butiran atau biji plastik, bukan beras,” jelasnya.

Pada beberapa kasus, Slamet menjelaskan, dalam pembuatan beras analog menggunakan gliceryn monostearat (GMS) yang merupakan produk turunan sawit. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai ‘plasticizer’ yang berfungsi supaya tidak lengket dan lebih kompak produk beras analognya. “Bisa jadi istilah ini yang disalahartikan sebagai plastik. Jika iya, persepsi yang salah ini harus diluruskan,” ucapnya.

Ia berpesan, kejadian seperti ini bisa menjadi pelajaran agar masyarakat lebih teliti dan kritis menanggapi suatu isu. Terlebih di era banjir informasi seperti sekarang, berpikir kritis merupakan modal penting dalam memilah benar tidaknya sebuah berita. 

“Jadi, di era keterbukaan informasi ini, knowledge kita harus dikuatkan, sehingga kalau ada isu semacam ini, kita tidak termakan berita hoaks. Tanpa pengetahuan yang cukup, kita tidak akan bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana yang salah, masuk akal atau tidak. Karena itu berpikir kritis menjadi penting,” kata dia.

Profesor Slamet sendiri merupakan sosok di balik inovasi beras analog. Beras buatannya itu berbahan baku bukan padi, melainkan dari beragam sumber pangan lain seperti jagung, ubi jalar, talas, sorgum dan lainnya. Meski bukan dari padi, beras analog justru bisa menjadi alternatif pangan selain beras dan memiliki segudang manfaat bagi kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement