Selasa 10 Oct 2023 05:55 WIB

Kian Menyusut, Begini Nasib Planet Merkurius Kini

Penyusutan turut memicu timbulnya kerutan berupa retakan di permukaan Merkurius.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Planet Merkurius kini terus menyusut dan memunculkan kerutan di permukaannya/ilustrasi
Foto: NASA
Planet Merkurius kini terus menyusut dan memunculkan kerutan di permukaannya/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Panas dari inti Merkurius terus menyeruak keluar dan membuat planet terkecil di tata surya ini ini semakin mengecil. Penyusutan tersebut turut memicu timbulnya "kerutan" berupa retakan-retakan di permukaan planet Merkurius.

Merkurius merupakan planet di dalam Tata Surya yang memiliki jarak paling dekat dengan matahari. Salah satu ciri khas dari Merkurius adalah keberadaan lobate scarps atau lereng-lereng curam raksasa di permukaannya.

Baca Juga

Selama ini, ahli geologi belum bisa memastikan kapan lobate scarps di permukaan Merkurius terbentuk. Mereka juga belum dapat memastikan apakah Merkurius masih membentuk lobate scarps baru, mengingat planet ini masih dalam proses pendinginan dan terus kehilangan panas dari intinya.

Ketidakpastian ini akhirnya terjawab melalui sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Geoscience pada 2 Oktober 2023. Studi ini menyoroti lobate scarps yang terdapat pada permukaan Merkurius dengan lebih dekat.

Untuk melakukan pemantauan lebih dekat, tim peneliti memanfaatkan gambar yang diambil oleh pesawat luar angkasa Messenger milik NASA. Messenger merupakan pesawat luar angkasa yang mengorbit Merkurius selama lebih dari 10 tahun, yaitu pada 2004-2015.

Dari pemantauan tersebut, tim peneliti menemukan adanya retakan-retakan kecil atau graben di dekat lobate scarps. Ada 48 graben yang berhasil terkonfirmasi oleh tim peneliti dan 244 retakan yang diduga merupakan graben di dekat lobate scraps planet Merkurius.

Graben terbentuk dari garis patahan ketika batu "dibengkokkan". Proses ini mirip seperti terbentuknya retakan saat melipat selembar roti. Berdasarkan temuan inilah, tim peneliti menilai keberadaan graben merupakan sebuah indikasi bahwa lobate scarps mengalami pergerakan setidaknya dalam 300 juta tahun ke belakang.

"Tim kami menemukan tanda tidak ambigu (yang menunjukkan) bahwa banyak scarps yang bergerak secara geologis belakangan ini, meski scarps tersebut terbentuk pertama kali miliaran tahun lalu," ujar peneliti sekaligus ahli geologi dari The Open University, David Rothery, seperti dilansir LiveScience pada Selasa (10/10/23).

Menurut Rothery, "kerutan" atau lobate scarps yang terbentuk pada permukaan Merkurius sama seperti kerutan yang terbentuk ketika buah apel menciut. Bila apel menciut karena mengering, Merkurius saat ini sedang menyusut karena sedang melalui proses pendinginan.

Menurut tim peneliti, pergerakan lobate scarps tak hanya memicu terbentuknya graben tetapi juga menyebabkan Mercury-quakes. Mercury-quakes merupakan istilah yang merujuk pada getaran seismik yang terjadi di permukaan Merkurius.

Getaran serupa juga terjadi di bulan yang juga terus menyusut dan "mengeriput" seperti Merkurius. Di bulan, getaran tersebut dikenal dengan istilah moonquakes. Saat ini, ada alat lunar seismometer yang diletakkan di permukaan bulan untuk membuktikan dan mengukur moonquakes.

Alat serupa belum tersedia di permukaan Merkurius. Namun pada 2025, misi BepiColombo Eropa akan mulai mengorbit planet Merkurius. Para peneliti berharap misi ini bisa menghimpun sejumlah informasi mengenai kondisi geologi Merkurius sekaligus memberikan gambar "kerutan" di permukaan Merkurius dalam resolusi tinggi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement