Senin 25 Sep 2023 15:23 WIB

Bisa Capai Level Ekstrem, Apa Itu Bencana Kekeringan Meteorologis?

Kekeringan meteorologi terjadi setelah pola cuaca kering yang berkepanjangan.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Natalia Endah Hapsari
Perlu perkembangan teknologi baru untuk mengurangi dampak kekeringan ekstrem./ilustrasi
Foto: Bowo Pribadi
Perlu perkembangan teknologi baru untuk mengurangi dampak kekeringan ekstrem./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Para ilmuwan selalu mengatakan bahwa dampak dari perubahan iklim adalah cuaca ekstrem, termasuk kekeringan. Kekeringan mengacu pada periode kondisi yang lebih kering dari biasanya, yang disebabkan oleh kurangnya curah hujan. 

Dilansir dari DW Magazine, Senin (25/9/2023), kekeringan merupakan fenomena kompleks yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun dan sering kali mempunyai dampak besar terhadap masyarakat dan perekonomian.

Baca Juga

Para ilmuwan umumnya membagi kekeringan menjadi empat kategori. Kekeringan meteorologi terjadi setelah periode pola cuaca kering yang berkepanjangan dan curah hujan serta salju di bawah rata-rata. Ketika tingkat air sungai, waduk dan air tanah kemudian turun, maka terjadilah kekeringan hidrologis.

Kekeringan pertanian terjadi ketika kurangnya kelembaban di dalam tanah mulai mempengaruhi tanaman. Dan yang terakhir, ketika kekurangan air berdampak pada pasokan dan permintaan barang, misalnya mengganggu pengiriman atau produksi energi, maka itu menjadi kekeringan sosio-ekonomi.

Seorang ilmuwan dari Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz di Leipzig, Jerman, Oldrich Rakovec, mengatakan sering kali, namun tidak selalu, keempat skenario di atas dapat terjadi. Seperti halnya kekeringan yang terjadi di Eropa pada pertengahan tahun lalu. “Tetapi biasanya dimulai dari kekeringan meteorologis lebih dulu,” kata dia. 

Catatan curah hujan biasanya merupakan tanda awal terjadinya kekeringan, dan mungkin memerlukan waktu beberapa saat sebelum hal ini menyebabkan penyusutan sungai atau berkurangnya vegetasi.

Para ilmuwan memantau kekeringan dengan menggunakan berbagai indeks yang mewakili curah hujan, kesehatan vegetasi, kelembaban tanah, dan lain-lain. Ketika kondisi melewati ambang batas yang dianggap normal (berdasarkan data jangka panjang) maka jelaslah bahwa kekeringan telah dimulai. Begitu pula dengan kekeringan yang berakhir ketika kondisi kembali normal.

Pemantau Kekeringan Jerman dari Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz menilai kekeringan pertanian dengan melacak kelembapan di dalam tanah. Menurut modelnya, kekeringan dimulai ketika kelembaban tanah mencapai tingkat yang hanya terjadi dalam 20 persen dalam jangka waktu yang lama.

Dalam penilaian kekeringan yang diterbitkan oleh Komisi Eropa pada Agustus 2022 lalu, para peneliti menggunakan Indikator Kekeringan Gabungan yang mengukur curah hujan, kelembaban tanah, dan tekanan pada tanaman, untuk menyimpulkan bahwa kejadian tahun lalu tampaknya merupakan yang terburuk dalam lima abad.

Laporan tersebut juga mengatakan hampir separuh wilayah Eropa telah mencapai tingkat peringatan kekeringan (yang berarti defisit kelembaban tanah), sementara 17 persen berada dalam keadaan waspada, yang berarti vegetasi juga terkena dampaknya.

Kemampuan suatu wilayah untuk pulih akan kekeringan, bergantung pada seberapa parah dan berkepanjangannya kekeringan itu terjadi. Dan apakah curah hujan cukup untuk merendam tanah, mengisi ulang air tanah, dan mengisi kembali waduk, untuk mengembalikan kondisi ke keadaan normal.

Peneliti senior dari Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa, Andrea Toreti mengatakan, untuk mengatasi kekeringan diperlukan peningkatan praktik pengelolaan air melalui kerja sama dengan pengguna lokal, dan membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

“Dalam jangka menengah dan panjang, yang harus kita lakukan adalah, dalam skala dunia, mengurangi emisi gas rumah kaca untuk melakukan mitigasi secara efektif dan mengurangi risiko pemanasan tambahan,” ujar dia.

Sementara Rakovec menekankan perlunya perkembangan teknologi baru untuk mengurangi dampak kekeringan ekstrem. Pada skala regional, membangun reservoir air yang besar, seperti sistem penyimpanan air bawah tanah, yang dapat membantu menahan air pada saat dibutuhkan.

Teknologi irigasi cerdas yang menyasar akar tanaman juga dapat mengurangi limbah air dan menjaga kesehatan tanaman. Rakovec mengatakan bahwa memperbanyak tanaman yang tahan panas, juga dapat membatasi kerugian selama kekeringan.

Menanam hutan campuran dibandingkan menanam secara monokultur juga merupakan ide bagus, karena spesies yang beragam lebih mampu menahan air dan bertahan dalam kekeringan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement