REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Anda tentunya pernah mendengar tentang bagaimana mengubah cuaca. Penyemaian awan adalah cara umum untuk mengubah cuaca. Dilansir GadgetsNow, Senin (25/9/2023), ide penyemaian awan bukan untuk menciptakan awan dari udara tipis, namun untuk memeras setiap tetes hujan dari awan yang terbentuk secara alami.
Penyemaian awan menambahkan zat ke awan dengan menembakkannya dari tanah atau menjatuhkannya dari pesawat. Udara sudah mengandung uap air, namun penyemaian awan dapat mendorong air mengembun hingga jatuh dari langit.
Biasanya, ketika udara naik ke atmosfer, ia mendingin dan membentuk partikel yang disebut inti es, yang berkumpul membentuk awan. Jika jumlah tetesan awan ini cukup banyak, mereka akan bertambah besar hingga menjadi cukup berat sehingga jatuh ke tanah dalam bentuk presipitasi, yang ditentukan oleh suhu dan kondisi lainnya. Menambahkan “benih” akan memberikan dorongan pada awan dengan menciptakan inti es yang tumbuh lebih cepat dan lebih besar dari biasanya.
Sementara itu, di Indonesia terdapat Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Ini bukanlah hal baru bagi Indonesia karena sejak 1977, TMC sudah dimulai. Kala itu, proyek tersebut lebih dulu dikenal dengan istilah hujan buatan.
Dilansir laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ide itu muncul, saat mantan presiden Republik Indonesia (RI) Soeharto melihat pertanian di negara Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena pasokan kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.
Dalam satu kesempatan, Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Budi Harsoyo menyebutkan setelah melakukan percobaan hujan buatan pada 1977, baru setahun kemudia Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri dan proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA).
Tahun 1985 berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No. 342/KA/BPPT/XII/1985. Lalu tahun 2015, mulai dikenal istilah Teknologi Modifikasi Cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT No 10 Tahun 2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca. Tahun 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi.
Harsoyo menjelaskan pengaplikasian TMC berkembang untuk memitigasi bencana karena dalam satu dekade terakhir frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir. Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penanggulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur serta acara besar kenegaraan.
Pertama kali, operasi TMC diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011. Ini bertujuan untuk mengurangi curah hujan.
Selanjutnya dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta tahun 2013, 2014, dan 2020. Selain itu, operasi TMC juga diaplikasikan untuk Moto GP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.