REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chatbot kecerdasan buatan ChatGPT berhasil mendiagnosis pasien UGD seperti halnya dokter dan dalam beberapa kasus mengungguli mereka. Hal ini merujuk pada studi pada peneliti Belanda yang mengatakan bahwa AI dapat merevolusi bidang medis.
Akan tetapi, laporan yang diterbitkan dalam jurnal Annals of Emergency Medicine itu, menegaskan bahwa bagaimanapun AI tidak dapat menggantikan penilaian dan pengalaman medis manusia.
Dalam studi ini, para ilmuwan menggunakan 30 kasus pasien yang dirawat di UGD rumah sakit Belanda pada 2022, lalu menganonimkan riwayat pasien, memasukkan tes laboratorium, dan catatan dokter. Kemudian, ChatGPT diminta memberikan lima kemungkinan diagnosis.
Peneliti lalu membandingkan daftar pendek chatbot dengan lima diagnosis yang disarankan dokter UGD, yang memiliki akses informasi yang sama. Setelah itu, peneliti memeriksa ulang dengan diagnosis yang benar dalam setiap kasus. Dokter memiliki diagnosis yang benar di lima besar dalam 87 persen kasus, dibandingkan dengan 97 persen untuk ChatGPT versi 3.5 dan 87 persen untuk versi 4.0.
"Sederhananya, ini menunjukkan bahwa ChatGPT dapat menyarankan diagnosis medis seperti yang dilakukan oleh dokter," kata Hidde ten Berg, dari departemen pengobatan darurat di Rumah Sakit Jeroen Bosch Belanda, seperti dilansir Study Finds, Kamis (14/9/2023).
Rekan penulis Steef Kurstjens mengatakan, survei tersebut tidak mengindikasikan bahwa suatu hari nanti komputer dapat menjalankan UGD. Akan tetapi, AI dapat memainkan peran penting dalam membantu petugas medis yang berada di bawah tekanan.
“Poin kuncinya adalah bahwa chatbot tidak menggantikan dokter, tetapi dapat membantu dalam memberikan diagnosis dan mungkin bisa memunculkan ide-ide yang tidak terpikirkan oleh dokter," kata Kurstjens.
Dan seperti di bidang lain, ChatGPT menunjukkan beberapa keterbatasan. Kurstjens mengatakan bahwa chatbot terkadang tidak masuk akal secara medis atau tidak konsisten. Ini dapat menyebabkan informasi atau diagnosis yang keliru, dengan implikasi yang signifikan.
Peneliti juga mengakui adanya beberapa kekurangan dalam penelitian ini. Misalnya ukuran sampel kecil, dengan hanya memeriksa 30 kasus. Kasus yang diteliti juga relatif sederhana, dimana pasien hanya memiliki satu keluhan utama.
“Tidak jelas seberapa baik chatbot akan menangani kasus yang lebih kompleks. Keampuhan ChatGPT dalam memberikan beberapa diagnosis yang berbeda untuk pasien dengan penyakit yang kompleks atau langka masih belum diverifikasi,” kata peneliti.
Studi tersebut juga menemukan kesalahan medis yang dilakukan chatbot, misalnya mendiagnosis anemia (kadar hemoglobin yang rendah dalam darah) pada pasien dengan jumlah hemoglobin yang normal.
"Sangat penting untuk diingat bahwa ChatGPT bukanlah perangkat medis dan ada kekhawatiran mengenai privasi ketika menggunakan ChatGPT dengan data medis," ujar ten Berg.