Rabu 23 Aug 2023 08:06 WIB

Ini Strategi Jitu Perbankan Bangun Transformasi Digital

Sekitar 70 persen proyek transformasi digital di sejumlah perbankan gagal.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Natalia Endah Hapsari
 Strategi adopt and build masih merupakan strategi pendekatan transformasi digital yang disukai lebih banyak oleh perbankan di Asia Pasifik dan juga di Indonesia. Karena risiko-risiko yang ditimbulkan
Foto: Koinworks
Strategi adopt and build masih merupakan strategi pendekatan transformasi digital yang disukai lebih banyak oleh perbankan di Asia Pasifik dan juga di Indonesia. Karena risiko-risiko yang ditimbulkan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Sekitar 70 persen proyek transformasi digital yang terjadi di sejumlah perbankan di kawasan Asia Pasifik mengalami kegagalan. Beberapa alasan dibaliknya antara lain adalah baik dari segi internal, dari segi biaya, dan dari segi implementasi atau penggunaan dari platform perbankan digital tersebut.

Hal ini terungkap dalam laporan Infobrief IDC yang berfokus pada wilayah Asia Pasifik (APAC) yang dirilis Backbase, perusahaan global di bidang Engagement Banking, Selasa (22/8/2023).

Baca Juga

Lebih lanjut, laporan yang berjudul “Accelerating Customer-Centric Transformation by Balancing Build and Buy- A Collaborative Approach Towards Sustainable Digital Banking Architecture“ mengungkapkan bahwa 30 persen proyek transformasi digital yang berhasil dilakukan oleh bank-bank di kawasan Asia Pasifik, 52 persennya mengalami underperform. Dari 30 persen proyek transformasi digital yang berhasil tersebut, 20-25 persen di antaranya ada bank yang tidak bisa mencapai return on investment (ROI) yang mereka targetkan.

“Beberapa bank-bank tersebut juga ada bank-bank yang berada di Indonesia, di antaranya. Meskipun bank-bank di Indonesia adalah bank-bank yang terbilang besar di kawasan Asia Pasifik,” ujar Senior Director of Research, APAC, IDC, Ashish Kakar dalam acara media briefing Backbase yang digelar secara virtual, Selasa (22/8/2023).

Selain itu, Kakar juga menyebutkan institusi di wilayah Asia Pasifik mengeluarkan sebanyak 100 triliun dolar Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya untuk implementasi pada teknologi. Namun hal tersebut tidak dapat memastikan atau tidak dapat memenuhi level kompetitif yang bisa dicapai oleh bank tersebut.

Menurut Kakar, ada beberapa tipe proyek yang dilakukan oleh para bank tersebut untuk melakukan transformasi digital. Namun sayangnya in-house building untuk transformasi digital masih menjadi preferensi yang dilakukan oleh beberapa bank termasuk di Indonesia. “Oleh sebab itu, bank perlu melakukan strategi yang bisa mengadopsi strategi adopt and build,” katanya.

Adopt and build adalah kemampuan para bank tersebut untuk diluncurkan ke pasar secara cepat dengan memanfaatkan beberapa end-to-end banking platform engine seperti out-of-the-box assets, microservices, dan pre-built workflows. Kakar menyampaikan dengan memanfaatkan ketiga platform engine tersebut, bank secara penuh bisa menyesuaikan fitur perbankan tersebut kepada pasar, serta melanjutkan perjalanan dan menyalurkan perbankan secara lebih luas lagi untuk memaksimalkan pengalaman nasabah perbankan tersebut secara diferensiasi dan sesuai keinginan yang ingin dicapai oleh bank.

Bagaimana bank-bank di Indonesia saat melakukan adopt and build?

Kakar menyampaikan beberapa contoh kasus yang didapatkan oleh IDC dari responden, yaitu dari bank-bank di Indonesia mengenai kebutuhan dan dukungan pada saat melakukan adopt and build. Dari tantangan tersebut, komentar paling umum yang mereka berikan antara lain adalah mereka perlu mengoordinasi transformasi digital ini dengan berbagai departemen yang lebih banyak lagi untuk bisa mengatasi tantangan yang ada pada proyek transformasi digital yang telah dijalankan.

IDC melakukan riset  bersama Backbase. 316 Chief Information Officer (CIO) yang menjadi responden ditanya dengan pertanyaan apakah CIO bank-bank tersebut dapat melakukan peluncuran produk secara baru dari nol dalam tiga hingga enam bulan secara berhasil? Hampir dari mereka semua mengatakan tidak.

“48 persen mereka lebih menyukai melakukan adopt and build, 19 persen mereka lebih menyukai melakukan pembelian, dan 33 persen mereka lebih menyukai untuk membangun sistem digital banking mereka sendiri,” ujar Kakar.

Pada saat riset tersebut difokuskan kepada Indonesia, sebanyak 60 persen lebih (64,3 persen) dari CIO lebih melirik opsi untuk melakukan strategi adopt and build untuk membangun transformasi digital pada perbankan mereka.

Selain itu, ada empat alasan utama mengapa bank memilih untuk membangun sistem digital mereka. Yakni, mengurangi risiko konversi dan waktu henti, kekayaan intelektual (IP) yang dibangun selama bertahun-tahun mungkin hilang dalam konversi, diferensiasi hilang jika setiap orang memiliki platform yang sama, dan talenta internal.

“Jadi adanya talenta internal sebagai tantangan di sini memungkinkan untuk lebih banyak kendali yang perlu dilakukan oleh bank tersebut pada saat melakukan penjadwalan pekerjaan untuk melakukan build,” kata Kakar.

Di sisi lain, Kakar menyebutkan strategi adopt and build masih merupakan strategi pendekatan transformasi digital yang disukai lebih banyak oleh perbankan di Asia Pasifik dan juga di Indonesia. Karena risiko-risiko yang ditimbulkan oleh strategi tersebut sangat minim dan juga dipandang sebagai opsi terbaik untuk mengurangi risiko dalam perjalanan transformasi digital sebuah bank.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement