REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imbauan mematikan ponsel atau mengaktifkan "mode pesawat" saat bepergian dengan pesawat terbang adalah bagian dari aturan standar maskapai. Regulasi itu dibuat demi keamanan dan keselamatan penumpang selama perjalanan udara.
Faktanya, survei tahun 2017 oleh Allianz Travel Insurance menemukan bahwa 17,2 persen penumpang lupa atau tidak mengaktifkan mode pesawat selama penerbangan. Apa yang terjadi jika penumpang secara tidak sengaja lupa menyetel mode pesawat atau tak mematikan ponsel?
Mantan pilot bernama Dan Bubb yang juga merupakan profesor di University of Nevada, Amerika Serikat, menyebut ada potensi risiko dari hal tersebut. "Jika Anda tidak mematikan ponsel, itu berpotensi mengganggu instrumen navigasi," kata Bubb, dikutip dari laman Travel and Leisure Asia, Senin (7/8/2023).
Dia menekankan kata "potensi", yang artinya bisa menimbulkan risiko dan bisa juga tidak. Namun, Administrasi Penerbangan Federal (FAA) dan Komisi Komunikasi Federal (FCC) sebisa mungkin menghindarinya lewat seperangkat aturan selama penerbangan. Kode Peraturan Federal di AS menyebutkan bahwa telepon seluler yang dipasang di atau dibawa ke dalam pesawat terbang tidak boleh dioperasikan saat pesawat mengudara (tidak menyentuh tanah).
Ketika pesawat lepas landas, semua telepon seluler di dalam pesawat harus dimatikan. Apabila ketahuan tidak mematuhinya, penumpang mungkin akan didenda. Masalah lain dengan penggunaan ponsel dalam penerbangan adalah kemungkinan kelebihan muatan menara seluler di darat.
Saat seseorang bergerak, ponsel terhubung ke beberapa menara seluler sekaligus. Mengingat semua penumpang pesawat ada di posisi tertentu di langit, hal itu tentu bisa menjadi beban jaringan. Selain risiko itu, menyalakan ponsel di pesawat akan menguras baterai karena perangkat menggunakan lebih banyak daya untuk terhubung ke menara dari ketinggian.
Seiring perubahan teknologi, ada ancaman baru oleh ponsel ke pesawat terbang, yakni jaringan 5G. Dengan banyak perusahaan sekarang menawarkan bandwidth 5G, itu berpotensi mengganggu altimeter radio, yang merupakan instrumen yang diandalkan pilot untuk menunjukkan kapan mereka perlu menyala, atau mengangkat roda hidung pesawat, dan mendaratkan pesawat.
Bubb menjelaskan, bandwidth spesifik yang digunakan oleh operator seluler AS untuk layanan 5G sangat dekat dengan bandwidth yang sama yang digunakan oleh altimeter radio, yang meningkatkan potensi interferensi. "Karena pilot duduk sangat tinggi di kokpit, sulit bagi mereka untuk melihat landasan pacu saat mendarat, itulah sebabnya mereka mengandalkan radio altimeter untuk panduan," ujar Bubb.
Secara umum, altimeter radio digunakan selama pendaratan dengan visibilitas rendah. Menurut laporan oleh Airbus, hampir 60 persen dari semua kecelakaan penerbangan dalam 20 tahun terakhir terjadi selama fase pendaratan pesawat.
Menariknya, Uni Eropa memperbolehkan pemakaian bersyarat perangkat dengan jaringan 5G di pesawat, yang memungkinkan penumpang berkomunikasi secara bebas dengan perangkat seluler, termasuk melakukan panggilan.
Tapi, ada perbedaan utama antara jaringan 5G Eropa dan Amerika. Jaringan Eropa beroperasi pada frekuensi yang berbeda, yang menambahkan lebih banyak pemisahan antara penggunaan sel dan altimeter radio.
Oleh karena itu, ada sedikit kemungkinan gangguan. Bubb menilai AS belum akan menerapkan hal yang sama dalam waktu dekat. "Jadi, ketika pramugari meminta penumpang untuk mengatur ponsel ke 'mode pesawat', atau mematikannya, ada alasan bagus mengapa penumpang harus memenuhi permintaan itu," ungkap Bubb.