Selasa 30 May 2023 12:16 WIB

Biaya Pembuatan Roket NASA Membengkak, Ada Apa?

NASA menghabiskan dana besar untuk pembuatan roket Space Launch System (SLS).

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
 Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menghabiskan dana besar untuk pembuatan roket Space Launch System (SLS). Kantor inspektur jenderal NASA melaporkan, biayanya kini sudah membengkak sekitar enam miliar dolar AS (Rp 89,79 triliun).
Foto: ne.spacegrant.org
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menghabiskan dana besar untuk pembuatan roket Space Launch System (SLS). Kantor inspektur jenderal NASA melaporkan, biayanya kini sudah membengkak sekitar enam miliar dolar AS (Rp 89,79 triliun).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menghabiskan dana besar untuk pembuatan roket Space Launch System (SLS). Kantor inspektur jenderal NASA melaporkan, biayanya kini sudah membengkak sekitar enam miliar dolar AS (Rp 89,79 triliun).

Dikutip dari laman Gizmodo, Selasa (30/5/2023), biaya roket itu jauh melampaui anggaran aslinya dan pembuatannya sudah enam tahun terlambat dari jadwal. Roket mega SLS dirancang untuk menerbangkan manusia ke bulan, setelah keberhasilan di masa silam.

Baca Juga

Apabila diteruskan dengan pembengkakan biaya, perancangan roket dinilai berpotensi membahayakan program NASA ke bulan karena dana menipis. Laporan tersebut juga menimbang keseluruhan investasi NASA dalam program terkait bulan, Artemis Moon.

Biaya yang dihabiskan sejak 2012 hingga 2025 diproyeksikan mencapai 93 miliar dolar AS (Rp 1,39 kuadriliun). Biaya roket SLS hingga 2022 sudah menghabiskan 23,8 miliar dolar AS (Rp 356 triliun), yang sudah disebut membengkak sebesar enam miliar dolar AS.

Inspektur jenderal telah melakukan auditnya dari Februari 2022 hingga April 2023. Roket SLS diluncurkan pada 16 November 2022 untuk misi Artemis 1, mengirimkan pesawat ruang angkasa Orion tanpa awak mengelilingi bulan dan kembali ke bumi.

Roket seberat 2.608 metrik ton tersebut dilengkapi dengan empat mesin RS-25 yang awalnya dibangun oleh Aerojet Rocketdyne untuk proyek Space Shuttle, yang beroperasi dari tahun 1981 hingga 2011. NASA memiliki total empat kontrak dengan Aerojet Rocketdyne untuk mesin RS-25 dan Northrop Grumman untuk pendorong roket.

NASA memakai 16 mesin RS-25 dari pesawat ulang-alik yang tak lagi beroperasi. Empat di antaranya digunakan selama Artemis 1. Setelah habis, badan antariksa akan beralih ke mesin RS-25E yang saat ini sedang dibangun oleh Aerojet Rocketdyne, yang harganya 30 persen lebih murah, tetapi memberikan 111 persen daya dorong terukur.

Laporan audit NASA menyebut kenaikan biaya disebabkan oleh asumsi bahwa penggunaan teknologi lungsuran dari Space Shuttle and Constellation Program bisa menghemat waktu dan biaya, dibandingkan dengan mengembangkan sistem baru. Ternyata, mengintegrasikan sistem baru dengan komponen lama justru lebih rumit.

NASA sedang mencoba untuk menurunkan biaya pembuatan SLS ke depan, dengan proyeksi penurunan harga 30 persen per mesin. Namun, penghematan itu tidak mencakup biaya overhead (pengeluaran operasional berjalan) dan biaya lainnya.

Setiap peluncuran roket membutuhkan empat mesin dan dua pendorong. Satu mesin RS-25 saat ini memakan biaya produksi sekitar 100 juta dolar AS (Rp 1,49 triliun). NASA pun ingin mengirimkan kru ke bulan. Misi Artemis 2 saat ini dijadwalkan diluncurkan pada akhir 2024, sementara Artemis 3 akan menyusul pada 2025 atau 2026.

Proyek mega-roket NASA tampaknya mendapat masalah besar, dengan tudingan pedas dalam laporan menyebut badan antariksa itu kurang transparan dan tak melakukan pengawasan. Belum jelas seperti apa imbas laporan ini terhadap program Artemis.

Laporan audit setebal 50 halaman itu menyertakan peringatan langsung terhadap ambisi NASA terkait program ke bulan. NASA pun diminta bertanggung jawab dalam penggunaan dana untuk memenuhi tujuan dan sasaran misi yang ada.

"Tanpa perhatian yang lebih besar terhadap hal penting ini, NASA akan terus melampaui biaya dan jadwal yang direncanakan, mengakibatkan berkurangnya ketersediaan dana, penundaan peluncuran, dan terkikisnya kepercayaan publik," demikian bunyi laporan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement