REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Gedung Putih mengumumkan pada Selasa akan mempelajari risiko kecerdasan buatan (AI) setelah alat AI bermunculan sejak ChatGPT dirilis pada November tahun lalu. Nantinya, Gedung Putih akan bertanya kepada para karyawan bagaimana jika mereka dipantau oleh AI akibat dari alokasi investasi teknologi yang dapat mengubah sifat pekerjaan.
Gedung Putih akan mengadakan sesi dengan para pekerja untuk memahami pengalaman mereka dengan penggunaan teknologi otomatis oleh pemberi kerja. Panggilan tersebut akan mencakup pakar pekerjaan, peneliti, dan pembuat kebijakan.
Jutaan pengguna telah mencoba aplikasi dan alat AI yang menurut para pendukungnya dapat membuat diagnosis medis, menulis skenario, membuat rangkuman hukum, dan pekerjaan lain. Namun, kemunculan alat AI ini menyebabkan meningkatnya kekhawatiran soal pelanggaran privasi, penipuan kekuasan, kampanye misinformasi, dan lainnya.
Sebagai bagian dari evaluasi teknologi, pemerintah AS juga akan mengumumkan sejumlah langkah baru, termasuk peta jalan yang diperbarui untuk investasi federal dalam penelitian AI, permintaan masukan publik tentang risiko AI, dan laporan baru dari Departemen Pendidikan tentang bagaimana AI memengaruhi sistem belajar mengajar serta penelitian.
Sesi mendengarkan dan langkah-langkah baru datang setelah pertemuan yang diselenggarakan Presiden Joe Biden bulan ini dengan kepala eksekutif perusahaan AI terkemuka, termasuk Microsoft dan Google Alphabet.
Pertemuan tersebut berfokus pada kebutuhan perusahaan untuk lebih transparan tentang sistem AI mereka dan pentingnya mengevaluasi keamanan produk. Biden juga telah menggunakan teknologi tersebut dan bereksperimen dengannya.