Senin 22 May 2023 16:05 WIB

Kecerdasan Buatan Bisa Gantikan Peran Guru?

Teknologi AI jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, justru sebagai sebuah kesempatan.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
Kemampuan kecerdasan buatan (AI) kini memunculkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran./ilustrasi
Foto: Unsplash
Kemampuan kecerdasan buatan (AI) kini memunculkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) menimbulkan kekhawatiran di berbagai bidang. Sektor pendidikan termasuk bidang yang dianggap terancam, dengan potensi AI suatu saat nanti menggantikan peran guru atau dosen.

Namun, kekhawatiran itu bisa disikapi secara positif. "Kehadiran AI jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, justru sebagai sebuah kesempatan untuk mendukung proses pendidikan," ujar Dekan Sekolah STEM Universitas Prasetiya Mulya, Stevanus Wisnu Wijaya, dalam acara Teachers Gathering 2023 beberapa waktu silam.

Baca Juga

Wisnu menyoroti manfaat kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan, salah satunya sebagai sumber pengetahuan untuk membangun inovasi baru. Jika dimanfaatkan dengan baik, AI bisa menghadirkan pengalaman belajar yang lebih baik dan menarik bagi siswa.

Dengan demikian, para siswa akan terdorong untuk menjadi lebih kreatif yang pada akhirnya bisa turut berperan dalam perkembangan teknologi itu sendiri, dengan menjadi  inovator teknologi baru. AI pun bisa dimanfaatkan guru untuk analisis data. Hasilnya kemudian dipakai untuk membuat pemetaan minat dan bakat siswa. Bisa juga merancang model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan. "Kehadiran AI akan mendorong banyak inovasi di bidang pendidikan," kata Wisnu optimistis.

 

Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru. Saat ini, kata Bukik, kapasitas program pengembangan guru sangat kecil sehingga berjalan lamban.

Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu guru. Itu tidak sebanding dengan kebutuhannya. Dengan kondisi itu, Bukik tidak heran jika banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan.

Menurut Bukik, perubahan kurikulum di Indonesia terhitung lamban. Idealnya, revisi atau penyesuaian kurikulum itu dilakukan setiap tahun, berdasarkan hasil evaluasi. Terlebih, dengan pesatnya perkembangan teknologi seperti sekarang.

Namun, perubahan kurikulum per lima tahun saja seolah sudah terasa terlalu cepat, karena pengembangan kapasitas guru juga lamban. Para pendidik jadi terkesan kewalahan mengikuti perkembangan zaman. Untuk mengatasinya, bisa dimulai dari institusi pendidikan.

Caranya dengan menambah anggaran dan memprioritaskan program pengembangan kapasitas dan kemampuan guru. Angka ideal menurut Bukik, institusi pendidikan menyiapkan minimal 20 persen anggaran untuk kebutuhan pengembangan guru.\"Kita perlu mendorong para pendidik untuk maju dan berkembang," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement