Sabtu 11 Mar 2023 02:39 WIB

Teknologi Sampah Jadi Bahan Bakar tidak Tepat untuk Jakarta, Mengapa?

Pemerintah sudah berkomitmen untuk menghentikan pembangunan TPA sampah.

Foto udara pembangunan fasilitas pengolahan sampah Landfill Mining dan RDF Plant di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Tempat pengolahan sampah menjadi bahan bakar tersebut dapat menampung 1.000 ton per hari dan saat ini progres pembangunanannya saat ini telah mencapi 83 persen dan ditargetkan selesai pada bulan Desember 2022. Namun para pakar menilai metode tersebut tidak lagi tepat diterapkan di Jakarta.
Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah
Foto udara pembangunan fasilitas pengolahan sampah Landfill Mining dan RDF Plant di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Tempat pengolahan sampah menjadi bahan bakar tersebut dapat menampung 1.000 ton per hari dan saat ini progres pembangunanannya saat ini telah mencapi 83 persen dan ditargetkan selesai pada bulan Desember 2022. Namun para pakar menilai metode tersebut tidak lagi tepat diterapkan di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teknologi pengolahan sampah menjadi bahan bakar atau refuse derived fuel (RFD) dinilai tidak tepat untuk Jakarta karena dalam pengaplikasiannya masih banyak kekurangan dan kelemahan, kata pemerhati masalah persampahan Widi Pancono.

"Jangan sampai sampah ini menjadi masalah tanpa usai dan terlalu lama kita hanya berkutat pada debat-debat tak berujung tentang metode pengolahan sampah," kata Widi yang juga Ketua Umum Kopetindo (Koperasi Energi Terbarukan Indonesia) ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.

Baca Juga

Padahal, katanya sudah tersedia metode atau cara yang baik dan efektif untuk mengatasinya sehingga jangan sampai masyarakat menanggung beban pencemaran sampah lebih lama lagi.

Apalagi, kata Widi, pemerintah sudah berkomitmen untuk menghentikan pembangunan TPA atau Tempat Pembuangan Akhir sampah pada tahun 2030.

Ia mengatakan, sampah memang masih menjadi masalah besar di sejumlah kota besar di Indonesia, terutama kota-kota besar di Jawa. "Khusus untuk Jakarta yang setiap hari menghasilkan 8.000 sampai 8.5000 ton sampah, harus menjadi perhatian serius. Perlu ada penanganan dan teknologi tepat untuk mengatasinya," kata Widi.

Dia mengatakan setiap kota mempunyai karakteristik sendiri, jadi solusi penyelesaian masalah sampah di masing-masing kota juga berbeda. Jangan sekadar mengolah sampah tanpa memahami karakteristik tersebut dan jangan sampai sembarangan menerapkan cara pengolahan sampah.

Untuk kota metropolitan dengan jumlah sampah yang sangat besar dan lahan terbatas, maka mengolah sampah untuk menghasilkan energi listrik, jelas lebih sesuai.

Widi mengatakan RDF merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil melalui pencacahan sampah atau dibentuk menjadi pelet.

Hasilnya akan dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran recovering batu bara untuk pembangkit tenaga listrik.

Namun teknologi RDF, kata Widi, tidak tepat diterapkan di Jakarta. Di Jakarta, teknologi insinerator yang paling tepat karena sampah akan habis dibakar, baik sampah organik maupun anorganik.

''Yang pasti, sampahnya harus musnah. Ini yang terpenting. Dan juga harus mampu menghasilkan energi listrik terbarukan sehingga dapat menambah bauran energi listrik terbarukan di sistem pembangkitan PLN. Metode insinerator dapat melakukan itu dengan baik,'' katanya.

Sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Korsel, dan beberapa negara di Eropa sudah menggunakan teknologi insinerator dan terbukti sangat efektif.

Dikatakan sudah saatnya pemerintah serius menangani masalah sampah apalagi sudah ada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement