Rabu 08 Mar 2023 17:11 WIB

Waspadai Penggunaan Insinerator Sampah, Lebih Mencemari Lingkungan

Insinerator sampah ternyata bisa lebih polutif dibandingkan PLTU batubara.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Sejumlah alat berat eskavator memindahkan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Untuk mengolah sampah, tak disarankan menggunakan insinerator sampah karena justru lebih polutif dibandingkan PLTU batubara./ilustrasi
Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Sejumlah alat berat eskavator memindahkan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Untuk mengolah sampah, tak disarankan menggunakan insinerator sampah karena justru lebih polutif dibandingkan PLTU batubara./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Insinerator merupakan teknologi pembakaran sampah dengan suhu tinggi yang dapat mengurangi volume sampah sekaligus menghasilkan energi. Namun di sisi lain, insinerator sampah ternyata bisa lebih polutif dibandingkan PLTU batubara.

"Hentikan narasi pembakaran sampah itu solusi terbarukan," jelas Climate and Clean Energy Campign Officer GAIA Asia-Pasific Yobel Novian Putra dalam Hari Peduli Sampah Nasional 2023 bersama Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), di Jakarta.

Baca Juga

Yobel mengatakan GAIA telah menerbitkan sebuah paper yang meneliti intensitas karbon yang dihasilkan oleh sejumlah penghasil energi atau pembangkit listrik untuk setiap kilowatt listrik yang dihasilkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa insinerator sampah menghasilkan emisi karbon yang lebih besar dibandingkan PLTU batubara. "Padahal untuk batubara, kita sudah koar-koar untuk diberhentikan," lanjut Yobel.

Yobel menjelaskan, proses pembakaran sampah seperti dengan insinerator sampah, memiliki dua sumber penghasil karbon. Sumber yang pertama adalah sampah organik, dan sumber kedua adalah fossil seperti sampah plastik.

Bila hanya menghitung hasil pembakaran fossil, jumlah karbon yang dihasilkan dari insinerator hanya sedikit lebih rendah bila dibandingkan PLTU batubara. Namun bila perhitungan ini mencakup sampah organik dan fossil, maka jumlah karbon yang dihasilkan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan PLTU batubara.

Hal serupa juga ditemukan dalam sebuah studi di Eropa, yang kerap digadang menjadi kiblat teknologi pembakaran sampah. Studi yang dilakukan di Inggris ini meneliti jumlah emisi yang dihasilkan dari insinerator sampah dan sejumlah pembangkit listrik. "Emisinya di empat insinerator lebih besar daripada, misal di //solar panel// atau pun di pembangkit listrik konvensional seperti (PLTU) batubara," ujar Yobel.

Tak hanya dari segi cemaran, Yobel mengatakan biaya per 1 ton sampah yang harus dikeluarkan untuk mengolah sampah dengan insinerator juga cukup besar. Bahkan, insinerator sampah bisa memakan biaya beberapa kali lipat lebih tinggi dibandingkan solusi pengelolaan sampah tercampur seperti TPA. ''Jadi pertanyaannya, kenapa fokus solusinya adalah pembakaran?" jelas Yobel.

Hal senada juga diungkapkan oleh pendiri dan Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati. Yuyun mengatakan sekitar dua pertiga emisi karbon global terkait dengan ekonomi material. Selain itu, sebagian besar emisi terjadi pada tahap ekstraksi, produksi, dan distribusi 

Akan tetapi, lanjut Yuyun, pemerintah Indonesia malah mendorong teknologi pembakaran sampah. Padahal teknologi ini hanya mengonversi emisi gas metan dari sampah tercampur menjadi karbondioksida.

Yuyun juga menyoroti permasalahan sampah plastik yang kian menumpuk. Yuyun mengatakan, plastik dibuat dengan berbagai kimia adiktif yang sebagian besarnya bersifat karsinogenik. Sejak tahap produksi hingga akhir masa penggunaan, racun kimia dari bahan pembantu ini bisa terlepas ke lingkungan dan masuk ke tubuh manusia.

"Sekali terlepas ke lingkungan dan masuk ke tubuh kita, racun-racun ini sulit untuk ‘ditangkap’ dan dimusnahkan, menjadi lebih kompleks karena menjadi campuran yang toksik," lanjut Yuyun.

Untuk menerapkan prinsip produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, Yuyun menilai zat-zat kimia aditif beracun ini harus dilarang dan diganti dengan yang lebih aman. Yuyun juga menilai perlu adanya pengurangan produksi bahan baku plastik secara bertahap. "Agar volume sampah plastik dan lepasan racun kimia aditif plastik dapat dihentikan,"ujar Yuyun.

Di samping itu, penanganan sampah dengan teknologi termal tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas penanganan dan daur ulang limbah. Alasannya, masyarakat di sekitar dapat terpapar kimia beracun, seperti dioksin furan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi, gangguan hormon, dan kanker. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement