REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Generasi yang lebih muda juga lebih percaya dan nyaman dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Mereka cenderung menggunakannya dalam pekerjaan. Seiring berjalannya waktu, hal ini dapat meningkatkan perpecahan dalam pekerjaan.
Dilansir GizModo, Selasa (7/3/2023), studi yang diunggah di The University of Queensland, Australia, menemukan perbedaan penting di antara negara-negara. Misalnya, orang-orang di negara barat termasuk yang paling tidak percaya penggunaan AI di tempat kerja. Sedangkan mereka yang berada di negara berkembang (Cina, India, Brasil, dan Afrika Selatan) lebih percaya dan nyaman.
Perbedaan ini mencerminkan fakta bahwa sebagian kecil orang di negara barat percaya manfaat AI lebih besar daripada risikonya, berbeda dengan sebagian besar orang di negara berkembang.
Hasil studi juga menunjukkan orang-orang yang punya prinsip dan praktik yang sama, mereka cenderung percaya pada AI. Rata-rata, 97 persen orang melaporkan hal ini penting untuk kepercayaan mereka terhadap AI.
Orang-orang akan lebih mempercayai AI ketika ada lembaga pengawasan seperti memantau AI untuk akurasi dan keandalan, kode etik AI, dewan peninjau etika AI independen, dan kepatuhan terhadap standar AI internasional. Dukungan kuat untuk prinsip dan praktik AI yang dapat dipercaya di semua negara memberikan rencana tentang bagaimana organisasi dapat merancang, menggunakan, dan mengatur AI dengan cara yang menjamin kepercayaan.