REPUBLIKA.CO.ID, SENGGIGI -- Institut Teknologi Indonesia (ITI) bersama Organisasi Ilmu Kelautan Pasifik Utara dan sejumlah lembaga mengungkapkan hasil riset kondisi lingkungan di perairan kawasan tiga Gili (Trawangan, Meno dan Air) di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Riset menunjukkan kawasan tiga Gili bebas dari bahaya potensi keracunan ikan Ciguatera.
"Dari hasil riset di kawasan perairan khususnya di tiga Gili, tidak ada gejala penyakit Ciguatera Fisch Poisoning atau keracunan ikan Ciguatera, yakni sejenis ikan karang yang hidup di perairan Lombok," kata Rektor ITI Dr Marzan A Iskandar, di sela lokakarya internasional dan pelatihan tentang keracunan ikan Ciguatera di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Rabu (25/1/2023).
Ia menjelaskan dalam mengungkapkan hasil penelitian ini, ITI bekerjasama dengan sejumlah pihak, di antaranya North Pacific Marine Science Organization atau Organisasi Ilmu Kelautan Pasifik Utara yang beranggotakan enam negara di Pasifik Utara yakni Kanada, Jepang, China, Korea, Rusia dan Amerika Serikat. Kemudian didukung Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang (MAFF-Jepang), Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, Universitas Mataram, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Menurut dia, riset ini penting dalam membangun jaringan peringatan lokal terkait deteksi dan dimensi terhadap manusia terkait keracunan ikan Ciguatera. Khususnya, bagi peningkatan masyarakat pesisir dalam pemantauan, menjaga kondisi lingkungan perairan serta pemahaman bahaya Ciguatera guna mendukung program pengelolaan sumberdaya perikanan, pesisir dan kelautan.
"Jadi ini dikembangkan untuk menjawab tantangan dalam mengatasi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, pesisir dan perikanan dalam menghadapi perubahan iklim, pemanasan global dan perubahan lingkungan akibat meningkatnya kegiatan manusia di wilayah pesisir dan lautan," katanya.
Ketua Panitia dari ITI, Prof Suhendar I Sachoemar mengatakan penelitian sebetulnya dilakukan sejak tahun 2020, namun karena terkendala Covid-19 sehingga baru bisa dilakukan di tahun 2022 dari tiga tahun yang direncanakan. "Ada empat kali survei yang kami lakukan. Mulai dari mengukur kualitas lingkungan, laut, daratan, dan sosial ekonomi," ujarnya.
Ia menjelaskan sebagai kawasan destinasi prioritas di NTB, perairan di Tiga Gili harus tetap terjaga dan dipelihara dengan baik. Hal ini seiring meningkatnya kegiatan manusia dan perubahan iklim dan pemanasan global.
"Meningkatnya kegiatan manusia dan perubahan iklim dan pemanasan global telah banyak mengancam kerusakan dan kematian terumbu karang yang memicu munculnya penyakit keracunan Ciguatera yang disebabkan memakan ikan yang terkontaminasi Ciguatoxin yang berasal dari dinoflagelata tropis (organisme sel tunggal) yang hidup dalam mikroalga yang banyak tumbuh di karang mati. Di perairan Lombok itu tidak ada terjadi," katanya.
Rektor Universitas Mataram (Unram), Prof Bambang Hari Kusumo, berharap melalui penelitian ini bisa memberikan kesadaran terutamanya masyarakat untuk menjaga lingkungan terutama terumbu karang dan menghindari kegiatan yang merusak terumbu karang seperti pengeboman dan pelepasan jangkar serta mengambil karang di laut. "Harus ada aturan sebagai sandaran untuk menjaga lingkungan. Karena terkadang ada budaya masyarakat yang mengambil karang di laut. Ini harus kita hindari. Begitu juga dengan masyarakat di daratan untuk sama-sama menjaga. Makanya kita bersyukur perairan di NTB masih terbebas dari keracunan ikan Ciguatera," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Lalu Gita Ariadi. Dia berharap dari kegiatan penelitian dan pelatihan tersebut untuk tidak hanya berhenti sampai di situ. Namun, harus terus dilakukan, sehingga ada rekomendasi-rekomendasi yang diberikan para peneliti kepada pemerintah sebagai bahan perumusan dan membuat kebijakan oleh pemerintah daerah.
"Ini menjadi penting dan strategis bagi daerah. Oleh karena itu hasil riset ini tidak boleh berhenti dalam tataran akademik, melainkan harus diteruskan sehingga kita bisa mengambil kebijakan untuk menjaga lingkungan laut terutama terumbu karang dan ikan yang ada," kata Gita Ariadi.