REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Mandi di kubangan air bercampur lumpur dan disiarkan langsung atau live tengah menjadi tren di media sosial Tiktok. Ironisnya, pemeran dalam tayangan langsung tersebut kebanyakan adalah orang tua bahkan lansia.
Sebagai imbalan, mereka akan mendapat gift berbagai macam karakter yang dikirimkan penonton, 'kado' tersebut memang bisa diuangkan. Kedinginan hingga badan mereka menggigil kerap kali terekam dalam tayangan tersebut.
Pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Angga Prawadika turut menyoroti tren tersebut. Menurutnya, saat ini media sosial menjadi tempat untuk mendapatkan dua hal, yaitu kepopuleran dan uang. Penyedia konten di media sosial tengah berlomba untuk menyajikan sesuatu yang dapat menarik perhatian masyarakat.
"Orang-orang ini berupaya untuk menarik perhatian dengan berbagai macam strategi. Salah satunya live mandi lumpur di Tiktok itu," ujarnya, Rabu (11/1/2023).
Angga menjelaskan, praktik yang mengeksploitasi kemiskinan semacam itu sudah sering kali muncul dan penontonnya banyak. Dimulai dari konten yang ada di televisi. Kemudian praktik serupa dibawa ke platform lain seperti Tiktok. Tujuannya tentu untuk mendapat popularitas dan bersaing dengan penghasil konten lain.
"Popularitas ini bisa menghasilkan uang. Mau tidak mau praktik eksploitasi kemiskinan semacam ini diakui bisa menarik perhatian orang banyak," kata dia.
Perlombaan untuk menarik perhatian masyarakat ini, kata Angga, menjadikan kreator konten media sosial sering melupakan nilai moral dan etika yang sejatinya harus selalu mereka junjung. Fenomena eksploitasi kemiskinan menurut Angga hanyalah permulaan saja. Ke depannya praktik semacam ini bisa terjadi lebih ekstrem untuk menarik perhatian masyarakat.
"Masalahnya adalah kurangnya pemahaman atas moral dan etika di internet serta keinginan mendapat popularitas secara singkat," ujarnya.
Menurut Angga, literasi digital perlu ditingkatkan guna menanggapi permasalahan ini. Literasi digital tidak hanya menampilkan cara menggunakan media sosial yang baik dan benar namun juga dampak dari konten yang dihasilkan.
Sementara itu, warganet memiliki peran penting untuk menghentikan praktik eksploitasi kemiskinan semacam ini. Warganet sudah terbukti mempunyai kekuatan yang lebih besar ketika ada sesuatu yang menyimpang.
"Netizen bisa bersatu untuk menekan praktik yang salah ini. Bahwa praktik ini hanya menempatkan masyarakat rural sebagai bahan candaan saja," kata Angga.
Meski menjadi kreator konten tidak mudah, Angga berpesan kepada masyarakat untuk tetap mengedepankan nilai moral dan etika. Konten yang mengedepankan nilai moral dan etika dissbutnya akan jauh lebih bertahan lama.