REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Washington DC Karl Racine menuduh Google telah melanggar Undang-Undang Prosedur Perlindungan Konsumen. Dia juga menuduh raksasa teknologi itu menggunakan “dark pattern” atau pilihan desain guna mengelabui pengguna agar melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan mereka, seperti mengaktifkan pelacakan lokasi.
Akibatnya, Google menyetujui pembayaran penyelesaian tuduhan ini sebesar 9,5 juta dolar AS atau sekitar Rp 147 miliar dan mengubah praktiknya terkait cara Google memberi tahu pengguna tentang mengumpulkan, menyimpan, dan menggunakan data lokasi mereka. Meski begitu, Google masih menyangkal melakukan kesalahan.
Google juga diminta untuk membuat laporan kepatuhan setiap tahun selama empat tahun ke depan supaya membuktikan perusahaan memang mematuhi ketentuan penyelesaian. Keluhan yang diajukan Racine pada Januari 2022, menuduh Google membuat pelanggan percaya mereka memegang kendali atas apakah platform tersebut dengan mengumpulkan dan menyimpan data lokasi mereka.
“Namun, yang menjadi masalah utama adalah konsumen tidak dapat mencegah Google mengumpulkan, menyimpan, dan mengambil keuntungan dari lokasi mereka," kata keluhan tersebut, dilansir Engadget, Senin (2/1/2022).
"Kami menggugat karena Google membuat hampir tidak mungkin bagi pengguna untuk menghentikan pelacakan lokasi mereka. Sekarang, berkat penyelesaian ini, Google juga harus menjelaskan kepada konsumen bagaimana data lokasi mereka dikumpulkan, disimpan, dan digunakan,” kata Racine dalam akun Twitter-nya.
Dalam postingan blog dari November, Google mengatakan penyelesaian adalah langkah lain di sepanjang jalan untuk memberikan pilihan yang lebih bermakna dan meminimalkan pengumpulan data sambil memberikan layanan yang lebih bermanfaat.