REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem imun dan melemahkan perlindungan tubuh dalam melawan beragam infeksi serta kanker. Seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat yang berisiko terhadap infeksi HIV mengalami pergeseran tren.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), HIV masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat dunia. Sejauh ini, infeksi HIV telah menyebabkan sekitar 40,1 juta kematian. Pada 2021, WHO mengungkapkan bahwa ada 1,5 juta orang yang baru terinfeksi HIV. Pihak WHO pun memastikan tak ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV.
Ketika HIV menginfeksi, virus akan mengganggu dan menghancurkan fungsi sel imun. Kondisi ini membuat orang dengan HIV (ODHIV) akan mengalami imunodefisiensi secara bertahap. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap infeksi HIV yang paling berat. Menurut WHO, AIDS bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun bila (infeksi HIV) tak diobati, bergantung pada tiap individu.
AIDS terjadi ketika sistem imun tubuh sudah mengalami kerusakan yang sangat berat akibat virus. Infeksi HIV bisa dianggap sudah berkembang menjadi AIDS ketika jumlah sel CD4 menurun di bawah 200 sel per milimeter kubik darah, atau ketika orang dengan HIV telah mengalami satu infeksi oportunistik atau lebih.
Di Indonesia, kasus HIV/AIDS ditemukan pertama kali di Bali pada 1987. Sejak saat itu, kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan yang signifikan dan penyebaran yang lebih meluas.
Kementerian Kesehatan RI mengestimasikan ada 526.841 orang dengan HIV pada 2020 di Indonesia. Sedangkan per Desember 2022, jumlah ODHIV yang dilaporkan ada sebanyak 417.863 orang, berasal dari 502 kota dan kabupaten se-Indonesia. "Pada awalnya, hampir semua penularan terjadi di populasi kunci," jelas Ketua Badan Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS), dr Nafsiah Mboi SpA MPH di Jakarta.
Beberapa kelompok yang menjadi populasi kunci yang adalah wanita pekerja seks (WPS), waria, serta pengguna napza suntik (penasun). Per 2012, kasus infeksi HIV paling banyak ditemukan pada penasun, WPS, dan lelaki seks lelaki (LSL). "Kita sebut populasi kunci karena mereka yang memegang kunci kita berhasil atau gagal turunkan dan hentikan epidemi ini," lanjut dr Nafsiah.
Perubahan pola penularan HIV tampak mulai terlihat di 2017. Bila sebelumnya penularan HIV lebih terkonsentrasi pada populasi kunci, di 2017 penularan HIV juga tampak meningkat di populasi nonkunci atau masyarakat umum.
Pada 2017, penularan infeksi HIV baru paling banyak terjadi pada kelompok LSL dengan jumlah 10.628. Di urutan kedua ada kelompok pasien TB sebesar 6.218, lalu di urutan ketiga ada kelompok ibu hamil dengan jumlah 3.873. Penularan infeksi HIV baru di kalangan WPS berada sedikit di bawah kelompok ibu hamil. "(Penularan pada) populasi kunci mulai berkurang, kecuali pada LSL," ujar dr Nafsiah.
Meski tak bisa disembuhkan, infeksi HIV dapat dikelola dengan terapi antiretroviral (ARV). Penggunaan terapi ARV bisa menekan replikasi virus dan memungkinkan terjadinya penguatan sistem imun sehingga sistem imun ODHIV bisa memiliki kemampuan untuk melawan infeksi oportunistik dan beberapa jenis kanker.
Pada 2022, jumlah ODHIV yang patuh terhadap terapi ARV ditargetkan sebanyak 380.170. Akan tetapi, jumlah ODHIV yang patuh terhadap terapi ARV baru mencakup 169.767 orang. Artinya, jumlah ODHIV yang patuh terhadap terapi ARV masih di bawah 50 persen, atau tepatnya 44,66 persen.
Padahal, kepatuhan terhadap terapi ARV memungkinkan ODHIV untuk memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik sekaligus mencegah penularan HIV. Bagi ODHIV wanita, kepatuhan terhadap terapi ARV juga bisa mencegah terjadinya penularan vertikal dari ibu dengan HIV ke bayi mereka.
Hal ini pula yang dialami oleh seorang ODHIV bernama Sari dari Jaringan Indonesia Positif. Sari hidup dengan HIV sejak 18 tahun lalu dan memulai terapi ARV pada 2005 dan menikah pada 2007.
Meski sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai penyakitnya, Sari merasa memiliki beban mental saat hendak membuat keputusan untuk memiliki keturunan. Oleh karena itu, Sari membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan untuk mempunyai anak dan melahirkan pada 2011. "Sekarang usianya sudah 11 tahun, dia lahir dari ibu yang positif, tetapi dia negatif," jelas Sari.
Sari mengatakan dia menjalani terapi ARV dengan tertib sejak 2005. Tak pernah sekali pun dirinya berhenti atau bahkan terlambat untuk mengonsumsi obat. Sari mengatakan kepatuhannya dalam menjalani terapi inilah yang turut berperan besar dalam keberhasilan pencegahan penularan HIV. "Pasangan saya juga negatif, sampai saat ini masih negatif," lanjut Sari.