Selasa 27 Dec 2022 20:11 WIB

Profesor di AS Ciduk Kecurangan Mahasiswa Gunakan AI untuk Tulis Esai

Hampir mustahil untuk membuktikan karya tersebut dibuat oleh ChatGPT.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Kecerdasan buatan (Ilustrasi)
Foto: Flickr
Kecerdasan buatan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang profesor perguruan tinggi di South Carolina, Amerika Serikat (AS) menciduk siswanya menggunakan ChatGPT, robot percakapan yang dapat mencerna dan memberikan informasi tertulis tentang beragam topik, untuk menulis esai. Esai tersebut merupakan tugas dalam kelas filsafat di Furman University.

Teknologi yang baru seumur jagung ini menjadi pukulan berat bagi lembaga pendidikan. Sebab, ChatGPT yang dirilis oleh OpenAI, kerap disalahgunakan.

Baca Juga

Asisten profesor filsafat Furman University, Darren Hick, mengatakan, dia mengaku awalnya tidak mengetahui keberadaan teknologi ini. “Namun, setelah saya melaporkan di Facebook, teman akademik saya mengaku juga mendapat kecurangan muridnya,” kata Hick.

Awal bulan ini, Hick telah menginstruksikan muridnya untuk menulis esai berisi 500 kata tentang filsuf abad ke-18 David Hume dan paradoks horor yang meneliti bagaimana orang bisa mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang mereka takuti. Ada satu esai yang memperlihatkan adanya karakteristik penggunaan AI.

“Esai itu seperti yang ditulis oleh siswa kelas 12 yang sangat cerdas. Namun, ada sejumlah kata tertentu yang aneh,” ujarnya.

Hick mengatakan hampir mustahil untuk membuktikan karya tersebut dibuat oleh ChatGPT. Dia memasukkan teks ke dalam perangkat lunak yang dibuat oleh produsen ChatGPT untuk menentukan apakah tanggapan tertulis tersebut dibuat oleh AI. Hasilnya, 99,9 persen cocok.

Akan tetapi, tidak seperti perangkat lunak pendeteksi plagiarisme standar atau makalah perguruan tinggi yang dibuat dengan baik. Perangkat lunak tersebut tidak menawarkan kutipan.

Hick kemudian mencoba membuat esai yang sama dengan mengajukan serangkaian pertanyaan kepada ChatGPT yang dia bayangkan telah diajukan oleh muridnya. Langkah tersebut menghasilkan jawaban yang serupa, tetapi tidak ada kecocokan langsung karena alat tersebut merumuskan tanggapan yang unik.

Akhirnya, dia memanggil siswa yang menggunakan ChatGPT. Hasilnya, siswa tersebut gagal dalam kelas filsafatnya dan diserahkan kepada dekan akademik sekolah.

Meskipun kasus itu telah selesai, Hick khawatir akan muncul kasus serupa. Untuk saat ini, yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah mengejutkan siswa yang dicurigai dengan ujian lisan dadakan. Dengan begitu, dia berharap dapat membuat mereka lengah tanpa bantuan teknologi.

Selain gratis dan instan, hal yang lebih menakutkan lagi adalah Hick khawatir saat ChatGPT terus berkembang. “Ini adalah perangkat lunak pembelajaran. Dalam sebulan, ini akan menjadi lebih pintar. Dalam setahun, itu akan menjadi lebih pintar. Saya merasakan perpaduan antara teror yang hina dan apa artinya ini bagi pekerjaan saya sehari-hari, tetapi ini juga menarik, sangat menarik,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement