Senin 12 Dec 2022 12:51 WIB

Perusahaan Jerman Ubah Karbondioksida Jadi Bahan Pembuatan Produk

Dunia harus melenyapkan satu milyar ton CO2 sampai tahun 2025.

Dua orang pekerja melakukan perawatan Saluran Udara Tegangan Extra Tinggi (Sutet) di Desa Doko, Kediri, Jawa Timur, Selasa (26/10/2021). PT PLN (Persero) optimis mampu menurunkan emisi sebesar 117 juta ton karbondioksida hingga tahun 2025 melalui bantuan anak usaha PT Energy Manajemen Indonesia dengan melakukan dekarbonasi.
Foto:

Susan Fancy adalah manajer program dari Inisiatif Global CO2 di Universitas Michigan. Ia sangat antusias dengan CCU. Ia mengungkap, karbon ada di hampir semua benda.

"Kalau saya pergi ke toko baju, sebagian besar kainnya sekarang dibuat dari serat sintetik, yang dasarnya adalah bahan bakar fosil. Misalnya kasur ini. Sebagian besarnya dibuat dari busa poliuretan," ucap dia. 

Christoph Gürtler mengembangkan produk di perusahaan Covestro. Dia tahu sangat banyak tentang busa. Ia menunjukkan sebuah blok besar busa poliuretan, yang berbobot sekitar 10 sampai 20 kilogram. Jadi kita mengambil CO2, dan menggantikan sebagian bahan baku fosil yang dibutuhkan untuk membuat kasur ini.  

Proses ini menggantikan sekitar 20 persen yang berasal dari fosil dengan CO2 yang didaurulang. Di Uni Eropa, lebih dari 30 juta kasur dibuang setiap tahunnya. Jika itu semua ditumpuk, pasti tingginya sekitar 678 kali tingginya puncak tertinggi Himalaya, Mount Everest. 

Christoph Gürtler mengungkap pula, jurnalis selalu mengemukakan, walaupun ada metode ini, tapi kalau hanya ini saja, tidak mungkin bisa selamatkan dunia. “Dan saya katakan, betul. Memang bukan itu tujuannya.”

Pembuatan produk perlu banyak energi

Membuat produk-produk ini juga bisa menggunakan banyak energi. Mengubah CO2 menjadi polimer dan bahan bakar biasanya perlu lebih banyak energi dibanding aplikasi lainnya. 

Insinyur kimia Görge Deerberg mengatakan, mereka hanya bisa melakukan ini, jika punya energi hijau. Tentang efisiensi energi dalam produksi produk dan bahan dari CO2 ia mengungkapkan pendapatnya demikian, “Saya rasa ini masalah terbesarnya. Kita tidak punya cukup energi hijau untuk produksi bahan kimia hijau serta produksi baja hijau.“

 

 

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement