Kamis 27 Oct 2022 02:25 WIB

Otoritas Persaingan Usaha Turki Denda Meta

Meta dituduh melakukan pelanggaran undang-undang persaingan usaha.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Foto selebaran yang disediakan oleh Meta menunjukkan logo merek perusahaan baru yang diumumkan oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg selama Konferensi virtual Connect 2021 di Menlo Park, California, AS, 28 Oktober 2021.
Foto: EPA-EFE/META HANDOUT
Foto selebaran yang disediakan oleh Meta menunjukkan logo merek perusahaan baru yang diumumkan oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg selama Konferensi virtual Connect 2021 di Menlo Park, California, AS, 28 Oktober 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Otoritas persaingan usaha Turki menjatuhkan denda pada Meta Platforms Inc, perusahaan induk Facebook sebesar 346,72 juta lira atau 18,63 juta dolar AS (Rp289 miliar). Denda itu diberikan atas tuduhan pelanggaran undang-undang persaingan usaha.

Dalam pernyataannya, Rabu (26/10/2022) otoritas persaingan usaha Turki mengatakan Meta mendominasi usaha layanan jaringan sosial pribadi dan pasar iklan video daring dan melanggar persaingan usaha dengan mengumpulkan data melalui layanan Facebook, Instagram dan WhatsApp. Meta belum menanggapi permintaan komentar.

Otoritas persaingan usaha Turki mengatakan Meta harus bertindak untuk memulihkan persaingan usaha di pasar-pasar tersebut. Mereka juga memerintahkan perusahaan itu untuk menyiapkan laporan tahunan langkah-langkah yang akan mereka ambil selama lima tahun kedepan. Denda tersebut berdasarkan pendapatan perusahaan itu pada tahun 2021.

Pada tahun lalu otoritas persaingan usaha menggelar penyelidikan terhadap WhatsApp dan kemudian Facebook Inc, setelah aplikasi itu meminta pengguna setuju Facebook mengumpulkan data mereka seperti nomor telepon dan lokasi. Perubahan ini diterapkan di seluruh dunia.

Perusahaan media sosial itu menjadi perhatian di Turki yang pekan lalu mengadopsi undang-undang yang membuat jurnalis dan pengguna media sosial yang dianggap menyebarkan "informasi palsu" terancam hukuman tiga tahun penjara.

Pengamat mengatakan perusahaan-perusahaan media sosial tampaknya tidak akan sepenuhnya mematuhi undang-undang yang mengharuskan mereka menghapus konten "informasi palsu" dan membagikan data pengguna ke pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement