Jumat 26 Aug 2022 00:09 WIB

Jasa Screenshot iPhone, Cermin Budaya Flexing di Era Digital?

Penampilan dalam media sosial mampu menciptakan efek imitatif kepada para pengguna.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Friska Yolandha
Logo Apple. Akhir-akhir ini, jagat maya dihebohkan dengan layanan yang menawarkan tangkapan layar (foto atau video) dari ponsel iPhone.
Foto: AP/Andy Wong
Logo Apple. Akhir-akhir ini, jagat maya dihebohkan dengan layanan yang menawarkan tangkapan layar (foto atau video) dari ponsel iPhone.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Guys aku buka jasa screenshot iPhone, harga Rp 2.500 per screenshoot. Minat DM. Pembayaran bisa ShopeePay, OVO, Gopay, dan Dana. Thank you,” kata salah seorang warganet @rizqimaulanami di Twitter.

Cuitan tersebut merupakan satu dari banyaknya cuitan yang menawarkan jasa screenshoot iPhone. Akhir-akhir ini, jagat maya dihebohkan dengan layanan yang menawarkan tangkapan layar (foto atau video) dari ponsel iPhone. Bisnis itu viral setelah salah seorang pengguna TikTok @kaylaameo33 mengunggah video berisi rekaman percakapannya dengan pembeli. Sekarang video sudah ditonton lebih dari 4,3 juta kali.

Baca Juga

Sejak itu, banyak warganet yang berbondong-bondong menawarkan layanan serupa di platform media sosial. Bahkan, layanan tersebut sudah masuk platform e-commerce. Salah seorang penjual bernama Rin (22 tahun) mengaku sudah menjual jasa ini sekitar sebulan lalu. Sampai sekarang dia sudah mendapatkan puluhan pelanggan.

“Saya iseng saja karena melihat ada peminatnya. Awalnya tahu dari TikTok, ada yang membuat video tentang screenshot iPhone, langsung saya ikutan juga,” kata Rin kepada Republika.co.id, Kamis (25/8/2022).

Harga yang dikenakan tiap screenshot Rp 500. Sebagian besar produk yang diminati pembeli adalah screenshot laman Spotify, Twitter, dan Instagram.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira angkat bicara menanggapi fenomena ini. Dia mengatakan merek tertentu bisa dianggap memamerkan kelas seseorang.

“Di Indonesia, memang ada inferiority complex. Jadi masyarakat merasa apa yang dimiliki itu sudah ada kelas atau nilai lebih di mata masyarakat. Sebenarnya ini membohongi mereka sendiri dan jaringan di sosial medianya dengan cara membeli layanan yang hanya bersifat temporer,” kata Bhima.

Menurut Bhima, pasar di Indonesia untuk barang atau jasa yang meningkatkan gengsi cukup besar dan unik. Misal, penyewaan tas branded. Jasa tersebut marak karena menjadi opsi yang menggiurkan dibandingkan membeli produk yang harganya terlalu mahal.

“Masalah sebenarnya adalah status sosial dan inferiority complex, flexing. Pengaruh media sosial juga mendorong adanya flexing,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan dalam era teknologi digital, kreativitas tidak terbatas. “Di era sekarang, kreativitas tidak terbatas sehingga ada orang yang berkreasi seperti screenshot dijual. Namanya iseng-iseng berhadiah ternyata viral,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement