REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jejak emisi manusia sepanjang tahun 2021 memecahkan rekor pada empat indikator utama kesehatan iklim. Samudera semakin panas, muka air naik dan tingkat keasaman tertinggi dalam sejarah.
Laporan yang dipublikasikan Badan Meteorologi Dunia (WMO), Rabu (18/5/2022) silam, menyimpulkan betapa emisi karbondioksida selama tahun 2021 menempatkan iklim Bumi dalam kondisi yang kian terpuruk.
Pada tahun lalu, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer Bumi mencatat rekor tertinggi baru. Pada saat yang sama, ilmuwan juga mendokumentasikan tingkat keasaman dan suhu laut tertinggi sejak pencatatan iklim.
Di seluruh dunia, cuaca ekstrem memicu kerugian bernilai miliaran dolar AS. Terutama kebakaran hutan, yang diperparah perubahan iklim, melumat ruang hidup bagi manusia dan hewan di sejumlah kawasan.
"Tahun-tahun yang dipenuhi investasi pada kesiapan bencana meningkatkan kemampuan kita untuk menyelamatkan nyawa manusia, meski kerugian ekonomi tetap tinggi,” kata Sekretaris Jendral WMO, Petteri Taalas.
Setia pada bahan bakar fosil
Pada 2015, pemimpin dunia menandatangani Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan suhu Bumi menjadi maksimal 1,5 derajat Celcius di atas level pra-industri. Target itu ingin ditepati sebelum akhir abad.
Namun ilmuwan mewanti-wanti ambisi iklim tidak bisa dicapai tanpa langkah drastis dalam pengurangan emisi.
Kendati fenomena cuaca ekstrem yang kian marak, negara-negara pemimpin ekonomi di dunia seperti Amerika Serikat atau China, tetap mengucurkan duit untuk menambang serta menggunakan bahan bakar fosil. Kebijakan yang mereka jalankan diprediksi akan memanaskan suhu Bumi setinggi 2,7 derajat Celcius pada 2100.
Ilmuwan meyakini batas maksimal kenaikan rata-rata suhu Bumi sebesar 1,5° C sudah akan terlampaui dalam satu dekade ke depan.
"Di bawah level ini, dampak perubahan iklim masih bisa diatasi,” kata Omar Baddour, ilmuwan iklim di WMO.
Jika suhu Bumi meningkat "di atas level tersebut, berarti akan sangat sulit untuk memitigasi konsekuensinya.”