REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lima raksasa media sosial yang terdiri dari Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, dan YouTube telah gagal menindak hampir 90 persen konten Islamofobia di platform mereka. Penelitian yang dilakukan oleh organisasi nirlaba Inggris Center for Countering Digital Hate (CCDH) melaporkan sejumlah konten yang menargetkan Muslim.
“Ada 530 postingan, dilihat 25 juta kali yang berisi konten tidak manusiawi terhadap Muslim melalui karikatur rasis, konspirasi, dan klaim palsu,” kata CCDH.
Menurut CCDH, postingan tersebut termasuk postingan Instagram yang menggambarkan Muslim sebagai babi dan menyerukan pengusiran mereka dari Eropa. Sementara konten di Twitter mengklaim migrasi Muslim merupakan bagian dari rencana untuk mengubah politik negara lain.
Banyak konten yang dilengkapi tagar ofensif, seperti #deathtoislam, #islamiscancer dan #raghead. CCDH melaporkan banyak dari postingan Islamofobia yang tidak ditindaklanjuti.
“Ada 125 postingan di Facebook dengan tujuh yang ditindaklanjuti, 227 di Instagram dengan 32 yang ditindaklanjuti, 50 di TikTok dengan 18 ditindaklanjuti, 105 di Twitter dengan tiga yang ditindaklanjuti, dan 23 video dikirimkan ke YouTube dengan tidak ada yang dilaporkan,” ujarnya.
Selain konten, beberapa platform juga menjadi rumah dari berbagai kelompok Islamofobia, misalnya Facebook. Mereka adalah “ISLAM berarti Terorisme,” “Hentikan Islamisasi Amerika,” dan “Boikot Sertifikasi Halal di Australia.” Banyak dari kelompok tersebut sudah mempunyai ribuan anggota dengan total 361.922, khususnya di Inggris, Amerika, dan Australia.
Padahal standar komunitas Facebook melarang serangan langsung terhadap orang beradasarkan rasa tau etnis sama seperti Instagram. Platform lain, Twitter juga menyetakan pernyataan serupa dengan pengguna tidak boleh mempromosikan kekerasan secara langsung atau mengancam orang lain berdasarkan ras, etnis, da nasal negara.
Sementara YouTube menyatakan ucapan kebencian tidak diizinkan di YouTube dan TikTok tidak mengizinkan konten yang berisi ujaran kebencian atau melibatkan perilaku kebencian karena akan dihapus dari platform.
Dilansir The Independent, Ahad (1/5/2022), Menteri Komunitas dan Kesetaraan Inggris Kemi Badenoch mengatakan pihaknya telah menyambut baik laporan ini. “Perusahaan media sosial harus berbuat lebih banyak untuk mengambil tindakan terhadap segala bentuk kebencian dan penyalahgunaan yang dialami penggunanya secara daring,” kata Badenoch dalam sebuah pernyataan.
Rasialisme terhadap Muslim bukan satu-satunya ujaran kebencian yang lolos dari jejaring sosial. The Independent menemukan teori konspirasi anti-semit masih mendapatkan jutaan tampilan dari Oktober 2020.
Pada tahun yang sama, para peneliti juga menemukan postingan dan halaman Facebook yang menyebarkan fasisme sedang direkomendasikan secara aktif oleh algoritmenya. Sebagai tanggapan, Facebook mengatakan sedang memperbarui kebijakan ujaran kebenciannya.