Rabu 13 Apr 2022 13:51 WIB

Cita-Cita Kota tanpa Emisi, Apakah Realistis?

Kota besar bisa menjadi pembunuh iklim nomor satu karena menghasilkan emisi tinggi.

Sejumlah armada bus listrik Transjakarta yang terparkir saat peluncurannya di kawasan Monas, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) meluncurkan 30 unit bus listrik sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mengurangi polusi di sektor transportasi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah armada bus listrik Transjakarta yang terparkir saat peluncurannya di kawasan Monas, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) meluncurkan 30 unit bus listrik sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mengurangi polusi di sektor transportasi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota industri yang giat memproduksi gas rumah kaca harus dikembangkan menjadi ekosistem niremisi yang ramah kehidupan. Tanpa transformasi tersebut, episentrum peradaban manusia ini bakal kewalahan melawan bencana iklim.

Diperkirakan sekitar 85 persen populasi Bumi akan hidup di kota-kota besar pada 2100. Kelak, sebagian besar kota di dunia bakal menampung rata-rata 10 juta penduduk. Dengan laju pemborosan emisi yang tinggi, kota-kota ini nantinya akan menjadi pembunuh iklim nomor satu.

Baca Juga

Saat ini saja, kota di dunia bertanggung jawab atas sekitar 75 persen emisi CO2 di dunia. Maraknya penggunaan beton dan besi yang padat emisi, serta minyak dan gas untuk kebutuhan energi, menempatkan kota sebagai medan terdepan dalam perang melawan krisis iklim.

Laporan teranyar Panel Iklim PBB menggarisbawahi peran kawasan urban sebagai sumber emisi. Gas rumah kaca yang diproduksi selama proses konstruksi dan untuk keperluan operasional, tercatat meningkat sebanyak 50 persen sejak 1990.

Artinya, kedua sektor tersebut harus mempercepat proses dekarbonisasi jika ingin menepati komitmen iklim sesuai Perjanjian Paris 2015. Hingga 2050, dunia internasional ingin membatasi kenaikan suhu Bumi menjadi sebatas 1,5 derajat Celsius di atas temperatur rata-rata tahun 1990.

Sejatinya, emisi urban bisa dipangkas hampir mendekati nol pada 2050 jika semua kota di Bumi digerakkan oleh energi terbarukan atau dipenuhi bangunan hemat energi. Terlebih, konsep kota hijau mampu menyerap CO2 dan membantu memerangi pemanasan kawasan urban.

Pakar IPCC optimistis, karena hampir 60 persen bangunan yang akan memenuhi kota-kota dunia pada 2050 masih belum dibangun. Artinya, jika dekarbonisasi dan penghematan emisi bisa diwujudkan secara dini, umat manusia berpeluang menyelamatkan iklim Bumi.

 

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement