REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru menunjukkan pendekatan baru dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV), yang disebut sinar UV-C jauh (far UV-C), secara tidak langsung mengurangi transmisi patogen udara dalam ruangan lebih dari 98 persen dalam waktu kurang dari lima menit. Temuan itu membawa kabar baik tentang penanganan pandemi Covid-19.
"Pancaran UV-C jauh dengan cepat mengurangi jumlah mikroba aktif di udara dalam ruangan menjadi hampir nol, membuat udara dalam ruangan pada dasarnya seaman udara luar," kata rekan penulis dr David Brenner, Direktur Center for Radiological Research di Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons, dilansir Fox News, Selasa (29/3/2022).
Sinar matahari memang memiliki kemampuan yang sama, namun ahli juga menyebut terpaannya dalam waktu lama juga berbahaya bagi kulit. Karena itu, sinar UV-C atau lampu UV di dinding menjadi alternatif solusi.
"Menggunakan teknologi ini di lokasi di mana orang berkumpul bersama di dalam ruangan dapat mencegah potensi pandemi berikutnya," ujarnya.
Studi bersama oleh para ilmuwan di Columbia University dan di Inggris menunjukkan bahwa lampu UV-C jauh yang dipasang di langit-langit dapat mengurangi risiko pandemi berikutnya. Lampu UV-C ini secara efektif mampu mengurangi penularan penyakit menular melalui udara di dalam ruangan yang diketahui menyebabkan wabah besar, seperti Covid-19 atau influenza.
Di sisi lain, pernyataan itu menekankan bahwa UV-C termasuk teknologi yang relatif baru. Meskipun telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa sinar ultraviolet C (UV-C) memiliki sifat untuk membunuh kuman, penggunaannya sebagian besar terbatas karena dapat menyebabkan kulit terbakar, kanker kulit, serta membahayakan mata, sehingga penggunaannya terbatas terutama untuk mensterilkan obat-obatan.
Hampir 10 tahun yang lalu, para ilmuwan di Columbia University memperlihatkan bahwa jenis sinar UVC yang berbeda, yang disebut sinar UV-C jauh, dapat menghancurkan kuman. Kemampuannya seefisien sinar UV-C konvensional tanpa efek samping yang berbahaya, karena panjang gelombang cahaya yang lebih pendek tidak memungkinkannya untuk menembus kulit manusia atau sel mata, menurut pernyataan itu.