REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengembangan non fungible token (NFT) di Republika telah dimulai sejak April 2021. Tepat pada 5 Mei 2021, Republika resmi menawarkan kover atau halaman muka perdananya dalam bentuk NFT pada penjualan NFT terbesar di dunia, Opensea.
Halaman muka yang terbit pada 4 Januari 1993 itu hadir dengan judul headline “George Bush-Yeltsin Tandatangani START II”. Koran yang terbit hitam putih ini memiliki tata letak yang berbeda dengan koran pada masanya sehingga menjadi pelopor pada zamannya.
Ketika ditanya apakah NFT akan bertahan seterusnya atau sekedar tren saja, jurnalis Republika Nur Hasan Murtiaji mengungkapkan NFT adalah sesuatu yang akan berlanjut sampai kemudian akan ditemukan teknologi berikutnya. Hal ini sebagaimana internet di tahun 2000.
Pada awal tahun itu, internet sepertinya menjadi hal yang biasa-biasa saja dan bukan sesuatu yang kemudian akan berlanjut. Akan tetapi setelah tahun 2000, 2010 , perkembangan digital menjadi luar biasa. Bahkan, kata pria yang akrab disapa Hasan ini, sebenarnya apa yang terjadi sekarang dengan NFT dan blockchain itu adalah transformasi digital dari proses digitalisasi yang sudah berjalan saat ini.
“Saya lihat NFT digital ini kalau diumpamakan serupa dengan dengan perpustakaan yang sangat luar biasa besar. Perpustakaan digital tentunya,” ujar Hasan dalam acara PechaKucha Night Jakarta Vol.45 “NFT: Beyond a Nifty Idea?” pada Jumat (25/3/2022) malam.
Di perpustakaan digital ini tersimpan semua aset-aset digital yang bisa diakses siapa saja karena terhubung secara global. Namun tentunya perpustakaan ini sangat berkelanjutan dan terjamin dari segi keamanan yang memungkinkan semua aset itu terjaga dengan baik.
“Nah ini tentunya, sebenarnya cita-cita semua orang ya. Dia punya barang, terjaga dengan baik, otentik, yang akan bertahan seterusnya, bahkan tidak hilang lah begitu. Karena kalau pun hilang ya hilang kepemilikan ketika dari satu orang pindah ke orang lain, itu saja,” katanya.
Selain itu, Hasan juga mengungkapkan setidaknya ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan Republika ketika menjual karya NFT yakni unik, langka, dan memiliki nilai sejarah. Contohnya, Republika memutuskan melepas kover edisi 28 Januari 2008 bergambar Presiden ke-2 RI Soeharto dan berjudul “Selamat Jalan” menjadi NFT, karena kover itu mendapatkan penghargaan dari World Associations of News Publishers (WAN-IFRA).
Kover tersebut mendapatkan penghargaan medali emas dari WAN-IFRA pada 2009 dengan kategori Best Front Page Design. “Itu kami lihat sebagai sesuatu yang unik, langka, dan punya nilai sejarah karena itu juga momen ketika Presiden kedua RI meninggal. Jadi konten yang punya nilai seperti itu yang kami memang tawarkan kepada publik,” ujar Hasan.
Republika sebenarnya lebih dari hanya sekadar menjual NFT, tetapi juga memiliki nilai untuk melakukan literasi dan edukasi. Ketika kover itu Republika dijual, di sana ada berita dan gambar yang menunjukkan apa atau membawa pesan apa.
“Itu lebih dari sekadar cuma sebuah karya seni tapi di situ ada juga newsnya. Nah ini yang sebenarnya kami ingin sampaikan. Ketika kita minting ke NFT itu sebenarnya, dalam kacamata kami, lebih dari hanya sekadar menjual tapi juga dalam rangka menyimpan secara abadi berita tersebut. Karena ini tersimpan ya. Secara technical blockchain dia akan ya disebutnya sebagai abadi gitu, cuma tinggal berpindah kepemilikan. Siapa pun nanti yang memiliki itu, maka sebenarnya nilai-nilai itu beserta yang memiliki dan mungkin orang luar yang juga akan melihatnya,” papar Hasan.