Kamis 10 Mar 2022 11:21 WIB

Ke Mana Data Kita Pergi Jika Penggunanya Meninggal Dunia?

Seseorang harus tetap memiliki hak konstitusional atas privasi dan data yang dimiliki

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Setyanavidita Livikacansera/ Red: Dwi Murdaningsih
Jejak digital (ilustrasi).
Foto: Freepik.com
Jejak digital (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, dalam berbagai aktivitas digital yang kita lakukan, ada berbagai jejak yang kita tinggalkan. Baik berupa posting-an foto, daftar pencarian di peramban, kumpulan komentar di media sosial, hingga alamat surel serta akun-akun yang kita miliki.

Berbagai jejak digital itu ada lah kumpulan identitas virtual yang kita miliki selama hidup. Namun, apa yang terjadi ketika pemilik data ternyata sudah meninggal?

Baca Juga

Dikutip dari Popular Mechanics, Jumat (4/3), dosen senior di Universitas Uppsala di Swedia, Carl Öhman, menjelaskan, aturan praktisnya adalah kita memiliki semua jejak digital yang selama ini kita buat di dunia maya. "Tapi, kita memilikinya bersama dengan platform di mana kita mengunggah data tersebut. Contohnya, di Facebook kita memiliki semua data yang kita posting di Facebook, tetapi Facebook juga memiliki data itu," ia menjelaskan.

Dalam penelitian yang dilakukan pada 2019 dan diterbitkan dalam jurnal Big Data & Society, Öhman memperkirakan akan ada minimal 1,4 miliar pengguna Facebook yang meninggal pada 2100. Jumlah itu didapat dengan asumsi platform tersebut berhenti menarik pengguna baru setelah 2018 ketika ia melakukan analisisnya. Namun, jika jaringan terus berkem bang dengan kecepatan saat ini, dia mengatakan, mungkin ada lebih dari 4,9 miliar profil dari orang yang sudah meninggal pada saat itu.

Dengan skala seperti itu, topik data post-mortem akan melampaui pertimbangan moral, etika, dan hukum individu. "Apa yang Anda pegang pada dasarnya adalah catatan sempurna dari masa lalu, arsip terbesar dari perilaku manusia yang pernah dikumpulkan dalam spesies kita," kata Öhman melanjutkan.

Menurut dia, dengan kemungkinan besar yang akan ter jadi pada masa depan tersebut, akan timbul berbagai pertanyaan dan masalah seputar etika. Pertanyaan tersebut mulai dari tentang siapa yang dapat mengakses foto-foto yang kita miliki setelah kita tak ada lagi. Tak ketinggalan juga potensi diskusi politik tentang siapa yang harus atau dapat mengontrol narasi kolektif kita tentang masa lalu digital.

Öhman mengatakan, dalam menyikapi isu ini, perusahaan tek nologi sudah seha rus nya memiliki batasan moral dan tidak melakukan sesuatu yang sangat menakutkan dengan data itu. Sebab, konsumen peduli dengan orang meninggal.

Jadi, perusahaan seperti Microsoft, misalnya, tidak diperbolehkan memiliki insentif untuk membuat avatar virtual atau chatbot dari orang yang kita cintai yang telah meninggal tanpa izin mereka. Hal itu meski Microsoft sebenarnya sudah memiliki kemampuan dan paten untuk melakukannya.

Di sisi lain, Öhman melanjutkan, ada pula kepentingan komersial dalam mempertahankan profil tersebut karena data kita merupakan sisa-sisa kenangan yang mungkin juga ingin terus dilestarikan. "Ke depan, kita mungkin juga akan mulai peduli tentang umur panjang dari kebaikan, platform seperti Facebook. Misalnya Facebook bangkrut, saya yakin banyak orang akan sangat kecewa karena data orang yang mereka cintai ikut hilang," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement