REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Laporan Komite Keuangan Inggris menyebut ada peningkatan kasus penipuan dan kejahatan keuangan yang gagal dihentikan oleh pemerintah. Menurut Komite Keuangan, mudah bagi penipu untuk menempatkan iklan di media sosial dan platform internet karena mereka tidak diwajibkan secara hukum untuk memverifikasi latar belakang pengiklanan.
Laporan tersebut mengungkapkan Otoritas Perilaku Keuangan (FCA) membayar lebih dari 1,1 juta poundsterling kepada perusahaan daring, termasuk Google, Twitter, TikTok dan Meta sehingga dapat menempatkan iklan peringatan tentang penipuan antara tahun 2019 dan 2021. Menurut komite, hal tersebut tidak pantas bagi perusahaan daring yang telah menghasilkan uang baik dari penipu yang membayar iklan penipuan maupun dari regulator keuangan yang memperingatkan tentang kasus penipuan.
Google dibayar lebih dari 690 ribu poundsterling atau Rp 13 miliar oleh FCA. Sementara Twitter menerima lebih dari 161 ribu poundsterling atau Rp 3,1 miliar, Meta memperoleh lebih dari 364 ribu poundsterling atau Rp 7 miliar, dan TikTok dibayar 50 ribu poundsterling atau Rp 971 juta.
Direktur Penegakan FCA Mark Steward mengatakan pihaknya lebih menyukai iklan seperti itu tidak dipublikasikan dulu. “Ironisnya kami harus membayar media sosial untuk menerbitkan peringatan tentang iklan anti penipuan,” kata Steward.
Sejak itu, Google menawarkan kredit iklan gratis senilai 2,2 juta poundsterling kepada FCA untuk mendukung kesadaran industri. Kini, Komite Keuangan mendesak perusahan daring lain untuk mengikuti langkah Google dan mengembalikan uang yang telah dibayar oleh FCA.
Pada Desember, Meta, Twitter, dan Microsoft mengumumkan hanya akan mengizinkan iklan layanan keuangan dari perusahaan yang disahkan oleh FCA. Tindakan tersebut mengikuti langkah yang diambil oleh Google, TikTok, dan Amazon. Namun, platform online utama lainnya termasuk pemilik Snapchat dan eBay belum membuat komitmen serupa.