Meski begitu, para ahli mengatakan bahwa mutasi omicron tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, sejauh ini tidak ada bukti bahwa itu bisa menimbulkan gejala yang lebih parah.
Profesor Computational Systems Biology di UCL Genetics Institute, Francois Balloux, menjelaskan, virus cenderung berevolusi cukup cepat dengan strain berbeda. Virus memang terus-menerus mengalami mutasi dari waktu ke waktu.
"Tidak ada bukti sejauh ini bahwa BA.1 dan BA.2 berbeda dalam hal virulensi, profil usia orang yang cenderung terinfeksi, maupun kemampuannya lolos dari sistem kekebalan," kata Prof Balloux.
Berdasarkan semua bukti saat ini yang tersedia, menurut Prof Balloux, perubahan frekuensi relatif dari sub-garis keturunan Omicron BA.1 dan BA.2 tidak mengganggu penerapan pembatasan ataupun pencabutan pembatasan pandemi yang sudah berlangsung. Sub varian terlihat di Afrika Selatan, Australia, dan Kanada.
Hanya saja, data terbaru menunjukkan hal itu sebenarnya telah terdeteksi di banyak negara sejak November 2022. Keberadaan sub-varian itu sama sekali tidak bisa mengalahkan dominasi omicron.
Studi dari Denmark menunjukkan bahwa sub varian bertanggung jawab atas setengah dari semua kasus omicron. Tidak ada perbedaan dalam risiko rawat inap akibat penyebaran sub-varian tersebut.
Tampaknya, infeksi dari sub varian tidak menyebabkan penyakit yang lebih serius daripada omicron asli, yang lebih mirip pilek bagi kebanyakan orang, terutama yang divaksinasi. Pejabat kesehatan di Denmark, yang paling banyak melihat kasus BA.2 sejauh ini, mengatakan bahwa vaksin Covid dianggap masih sama efektifnya.