REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baterai bagi mobil listrik harus panjang umur dan kuat. Itulah tujuan penelitian baterai litium ion, dan bahan baku ramah lingkungan yang berkelanjutan.
Di lembaga pengujian dan penelitian bahan, atau EMPA di Swiss orang mengembangkan baterai untuk masa depan. Baterai itu nantinya akan bisa menyimpan lebih banyak energi, berfungsi lebih lama dan lebih berkelanjutan daripada baterai zaman sekarang. Susunan komponen di bagian dalam baterai sangat menentukan.
Sebuah baterai selalu terdiri dari katode dan anode. Kutub plus dan minus. Sebagian besar terdiri dari aluminium dan tembaga.
Katode sebuah baterai ion litium dilapisi oksida dari nikel, kobalt dan mangan. Sementara anodenya dilapisi grafit. Di antaranya terdapat lapisan yang bisa ditembus ion-ion. Lapisan yang disebut "pemisah", menyebabkan kedua komponen tidak bisa menyatu.
Kedua komponen ini tidak boleh saling bersentuhan. Di dalam selnya katode dan anode masing-masing terdapat di dalam elektrolit yang bersifat konduktif.
Ketika baterai diisi, dari lapisan katode dilepas ion litium. Ion-ion itu menembus pemisah dan mencapai anode.
Di sana, ion-ion melekat pada grafit. Ketika baterai digunakan, ion-ion kembali ke katode dan melepas energi. Saat itu elektron mengalir lewat kontak.
Corsin Battaglia dan timnya meneliti, bagaimana cara mengoptimalisasi baterai elektro. Salah satu tujuan utamanya adalah menurunkan kadar kobalt dalam campuran bahannya. Dalam 20 tahun terakhir orang sudah berhasil mengurangi kadar kobalt.
Terutama kobalt punya ciri khas unik untuk menjadikan baterai lebih panjang umur dan berkemampuan besar. Oleh sebab itu sangat sulit untuk berhenti menggunakan bahan baku ini, dan menemukan penggantinya dalam waktu singkat.
Inilah perkembangan yang sangat diharapkan cabang industri itu. China sudah menanamkan modal sedikitnya 60 miliar Dolar di dalam industri mobil listrik. Sedangkan Eropa masih perlu menyusul.