REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Banyak dampak perubahan iklim yang dihadapi kawasan Kutub Utara. Salah satunya adalah kebakaran hutan musim panas yang semakin sering terjadi.
Berbicara pada pengarahan di COP26, Vincent Henri Peuch, kepala Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus (CAMS) mengatakan semua emisi karbon dioksida yang dipancarkan dari tahun ke tahun pada skala global mengalami tren penurunan. Namun, kebakaran hutan di Siberia meningkat.
"Tren penurunan ini didorong oleh tren kebakaran sabana di daerah tropis yang semakin menurun. Namun selama beberapa tahun sekarang, kami telah melihat kebakaran yang sangat ekstrem di Siberia," ujar Peuch dilansir di Space, Jumat (12/11).
Bagian timur laut Siberia, seperti Republik Sakha Rusia, paling banyak terkena. Wilayah beku yang diselimuti lapisan es dan tundra ini telah menyaksikan kobaran api kebakaran hutan yang tak tertahankan tahun ini.
Bukan hanya kehancuran yang disebabkan oleh kebakaran yang menimbulkan kekhawatiran. Karbon dioksida yang dilepaskan oleh kebakaran hutan selanjutnya memberi makan lingkaran setan pemanasan.
Tahun ini, kebakaran hutan di Republik Sakha menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca daripada pencemar terburuk di Eropa yang dikeluarkan Jerman dalam setahun. Ini menjadi perhatian besar karena lahan gambut yang terbakar di sana, bukan vegetasi.
"Ketika lahan gambut terbakar, itu membuka kunci simpanan karbon yaitu permafrost. Ini mengubah lanskap dan mempengaruhi siklus karbon," kata Peuch.
Salah satu satelit Sentinel melihat api berkobar di timur laut jauh Rusia baru-baru ini pada 3 November. Api yang kemungkinan dipicu oleh petir, terbakar dalam suhu beku minus 20 derajat C. Ini menyulitkan upaya petugas pemadam kebakaran yang berjuang dengan pipa air beku.