REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius yang disyaratkan oleh Perjanjian Paris. Faktanya, prediksi terbaru menunjukkan bahwa secara global, iklim akan mendapatkan rata-rata 2,4 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan dengan era pra-industri.
Hal ini bisa dicegah dengan emisi gas rumah kaca dikurangi secara drastis. Namun, tidak semua bagian dunia suhunya naik secara merata.
Menurut Samantha Burgess, wakil direktur untuk layanan perubahan iklim di program pengamatan Bumi Eropa Copernicus, Eropa telah melewati ambang batas 1,5 derajat Celcius. Wilayah itu saat ini 2,2 derajat Celcius lebih hangat daripada sebelum revolusi industri.
Alasan benua itu memanas begitu cepat masih menjadi teka-teki. Teka-teki ini pasti ada hubungannya dengan kedekatan Kutub Utara, lapisan es di sekitar Kutub Utara, yang sejauh ini merupakan wilayah pemanasan tercepat di Bumi.
"Kita tahu bahwa Arktik memanas sekitar tiga kali lebih cepat daripada rata-rata global. Ini sudah 3 derajat Celcius lebih hangat daripada di masa pra-industri. Cukup rumit untuk mengungkap alasan ilmiah di balik mengapa pemanasan terjadi jauh lebih cepat di sana," kata Burgess dilansir di Space, Jumat (12/11).
Burgess menjelaskan, para ilmuwan tahu bahwa kecepatan pemanasan Arktik difasilitasi oleh perubahan albedo planet, kemampuan permukaan untuk memantulkan sinar matahari.
Es putih murni di sekitar kutub bertindak seperti cermin, memantulkan sebagian besar sinar matahari yang masuk daripada menyerapnya. Saat es mencair, danau terbentuk di lapisan es, mengubah albedonya.