REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Energi air dulu diyakini jalan keluar dari jerat emisi. Namun banjir dan kekeringan esktrem akibat pemanasan global memangkas kapasitas bendungan hidroelektrik secara permanen, dan mendorong kembalinya energi fosil.
Badai belum berlalu di selatan Malawi, Afrika. Sejak dilanda Siklon Idai pada 2019 lalu, produksi listrik belum sepenuhnya pulih. Kapasitas dua bendungan raksasa yang di waktu normal mencapai 320 megawatt, berkurang drastis menjadi hanya 50 MW akibat rusak diterjang air.
Untuk mengisi kekurangan, pemerintah menginstruksikan produsen listrik untuk menggenjot penggunaan batu bara atau gas alam. Industri manufaktur juga diminta mengurangi konsumsi listrik untuk menghindari pemadaman bergilir.
"Ketika kita berbicara tentang energi hidroelektrik, kita berbicara tentang volume air yang cukup untuk memproduksi listrik,” kata Kristen Averyt, Guru Besar Ketahanan Iklim di Universitas Nevada, AS.
"Jadi apa yang akan digunakan buat menggantikan energi hidroelektrik?.”
Perubahan iklim membuat perilaku sungai menjadi kian sulit diprediksi. Di negara lain, kekeringan ekstrem mendorong kembalinya penggunaan energi fossil. Ilmuwan mewanti-wanti agar produsen listrik mempersiapkan diri menghadapi penyusutan jangka panjang.
Kelumpuhan pada produksi energi air bisa mempersulit upaya internasional keluar dari jerat emisi. Bendungan hidroelektrik memiliki kontribusi pada sekitar 16 persen produksi listrik di dunia, tulis Badan Energi Internasional (IEA).
Terutama bencana kekeringan tahun ini di Brasil dan barat Amerika Utara memicu gangguan terbesar pada produksi hidroelektrik dalam satu dekade terakhir. Sementara Cina masih belum pulih dari bencana kekeringan tahun lalu yang melumpuhkan produksi listrik di Provinsi Yunnan.