REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik air lintas negara mengintai di Sungai Eufrat. Perubahan iklim, perang dan ekspansi pertanian mengakibatkan kering berkepanjangan. Turki dituduh menutup keran air bagi Suriah demi kepentingan politik.
Saban musim semi, air Sungai Eufrat biasanya melimpah hingga ke kebun zaitun milik Khaled al-Khamees, warga desa Rumaylah di Provinsi Aleppo, Suriah. Tapi hari-hari ini, sungai kuno itu hanya meliuk di kejauhan. Pohon-pohonnya meranggas. Air minum kian langka.
"Seakan kami hidup di gurun pasir,” kata petani berusia 50 tahun itu di atas kebunnya di bantaran sungai. "Kami berpikir untuk pergi karena tidak ada lagi air untuk minum atau untuk mengairi pohon-pohon ini," ucap dia.
Organisasi bantuan dan kelompok lingkungan sudah mewanti-wanti petaka kelangkaan air yang menghantui timur laut Suriah. Aliran air menyusut oleh kerusakan infrastruktur akibat perang berkepanjangan.
Level air di sejumlah bendungan hidroelektrik yang berada di level terendah sejak Januari 2021. Ini mengancam pasokan air dan listrik untuk lima juta penduduk, di tengah pandemi corona dan krisis ekonomi.
Ketika musim kering mendekap pesisir Laut Tengah, tidak sedikit penduduk di wilayah etnis Kurdi itu yang menuduh Turki mempersenjatai air sungai demi menumpas separatisme di wilayah tenggara. Ankara menepis tudingan tersebut.
Di luar desa Rumayleh, pipa-pipa irigasi dibiarkan tergeletak mengumpulkan debu. Level air Sungai Eufrat yang sudah sedemikian rendah, membuat ongkos operasi pompa air melonjak tinggi. Warga akhirnya berhenti memompa.
Sebaliknya, mereka kini memindahkan kebun agar mendekati bibir sungai. Khamees mengaku belum pernah melihat level air serendah itu. "Para perempuan harus berjalan sekitar tujuh kilometer untuk mendapat seember air untuk air minum anak-anak,” kata ayah 12 anak itu.
Baca juga : Referendum Swiss Sahkan Pernikahan Sesama Jenis