Selasa 07 Sep 2021 21:59 WIB

Indonesia Alami Peningkatan Risiko Serangan Siber

Saat ini, Indonesia mengalami peningkatan risiko serangan siber.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/Setyanavidita Livikacansera/ Red: Dwi Murdaningsih
Keamanan siber
Keamanan siber

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meningkatnya aktivitas digital berujung pada makin bertamahnya peluang ancaman siber di ruang maya. Trend Micro Incorporated mengungkap peningkatan risiko serangan siber dalam setahun terakhir.

Berdasarkan survei terbaru, 81 persen perusahaan di Indonesia mengungkapkan potensi mengalami kebocoran data pelanggan dalam 12 bulan ke depan. Temuan tersebut adalah hasil dari laporan Trend Micro yang dilakukan setahun dua kali, yaitu Cyber Risk Index (CRI) yang mengukur gap antara kesiapan keamanan siber para responden dan kemungkinan akan mengalami serangan.

Baca Juga

CRI berupaya mengidentifikasi organisasi tingkat risiko siber (cyber risk level organizations) berdasarkan dua bidang. Pertama, kemampuan mereka untuk bersiap menghadapi serangan siber yang menarget kan mereka. Kedua, penilaian terki ni terha dap ancaman yang menargetkan mereka.

Pada semester I 2021, CRI melakukan survei ke lebih dari 3.600 bisnis dari berbagai ukuran dan industri di 24 negara, termasuk Indonesia. CRI diukur berdasarkan skala 10 hingga 10, dengan nilai 10 mewakili tingkat risiko tertinggi.

Cyber Risk Index Indonesia saat ini berada di level 0,12, termasuk dalam kategori elevated risk. Dibandingkan 2020, nilai CRI Indonesia mengalami penurunan, yang artinya saat ini Indonesia mengalami peningkatan risiko.

"Sepanjang 2020 hasil survei kita, Indonesia sebenarnya masuk ke yang moderate risk. Kita lihat dari 0,26 menjadi 0,12. Ini yang kita sampaikan atas hasil survei kami ya atau riset kami bersama Ponemon Institute," ujar Country Mana ger Trend Micro Indonesia, Laksana Budiwiyono, dalam acara virtual konferensi pers Trend Micro Indo nesia-Tech Update, Kamis (2/9).

Berdasarkan temuan di Indonesia, Laksana melanjutkan, Trend Micro melihat adanya peningkatan kekhawatiran akan risiko kebocoran data. Hal ini perlu mendapatkan respons cepat karena serangan siber menimbulkan dampak serius bagi perusahaan.

"Dengan lebih dari setengah responden menyatakan mengalami kebocoran data pelanggan dalam 12 bulan terakhir, perusahaan harus mempersiap an diri lebih baik dengan mengidentifikasi data penting yang memiliki risiko tinggi," katanya.

Hasil survei menunjukkan, tiga konsekuensi negatif akibat serangan siber yang paling menjadi perhatian di Indonesia, yaitu kehilangan kekayaan intelektual (termasuk rahasia dagang), gangguan atau kerusakan pada infrastruktur penting, dan biaya jasa yang harus dikeluarkan untuk konsultan atau ahli dari luar perusahaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement