REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — CEO Tesla Elon Musk sempat menghebohkan pasar kripto ketika mengatakan bahwa perusahaannya tidak akan lagi menerima Bitcoin untuk pembelian kendaraan. Pada Mei lalu, ia menyebut bahwa peningkatan penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil lainnya untuk menghasilkan bitcoin sebagai alasan di balik keputusannya.
Sejak saat itu, saham Bitcoin turun sebesar 14 persen. Mata uang kripto seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, dan Crypton menjadi investasi yang populer pada tahun ini, dengan sempat mencatat rekor tertinggi. Namun, peningkatan ini telah meningkatkan kekhawatiran tentang jumlah energi yang dibutuhkan untuk menambang koin. Menambang didefinisikan sebagai produksi koin melalui teknologi komputasi.
Listrik dan daya yang sangat besar
Dilansir Cnet, gudang rig penambangan Bitcoin beroperasi dalam 24 jam sehari. Artinya, penambangan ini menghabiskan lebih banyak energi di satu negara seperti Argentina. Saat tagihan energi untuk penambangan kripto meningkat, juga jumlah karbon dan limbah, ini menambah masalah krisis iklim di dunia.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui mengenai penambangan kripto dan penggunaan energi. Saat Bitcoin diperdagangkan, komputer di seluruh dunia berlomba untuk menyelesaikan perhitungan yang menghasilkan 64 digit angka heksadesimal, atau hash.
Hash tersebut masuk ke buku besar publik, sehingga siapapun dapat mengkonfirmasi transaksi untuk Bitcoin tertentu yang terjadi. Komputer yang menyelesaikan perhitungan terlebih dahulu mendapat hadiah 6,2 bitcoin,
Cryptocurrency lainnya menggunakan teknologi penambangan serupa, berkontribusi pada penggunaan energi secara keseluruhan. Rig penambangan kripto sendiri adalah komputer dengan banyak kartu grafis (GPU), yang bukan standar kartu tunggal.
Rig biasanya menggunakan GPU yang kuat dari Nvidia dan AMD untuk menangani perhitungan dan membutuhkan catu daya watt tinggi. Popularitas penambangan telah menyebabkan kekurangan kartu grafis.