REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak perubahan iklim sangat nyata. Menurut sebuah studi internasional, perubahan iklim membuat kemungkinan banjir mematikan yang menghancurkan sebagian Jerman dan Belgia bulan lalu menjadi sembilan kali lebih mungkin terjadi.
Sedikitnya ada sebanyak 190 orang tewas dalam banjir parah yang melanda Jerman barat pada pertengahan Juli lalu. Sedikitnya ada 38 orang tewas setelah hujan ekstrem di wilayah Wallonia selatan Belgia.
Dilansir laman Trt World, Selasa (24/8), menggunakan spesialisasi ilmu atribusi yang berkembang, para ahli iklim semakin mampu menghubungkan perubahan iklim peristiwa cuaca ekstrem tertentu. Untuk menghitung peran perubahan iklim pada curah hujan yang menyebabkan banjir, para ilmuwan menganalisis catatan cuaca dan simulasi komputer untuk membandingkan iklim hari ini dan di masa lalu. Saat ini, suhu sekitar 1,2 derajat Celcius lebih hangat karena emisi buatan manusia, dibandingkan dengan iklim dari masa lalu.
Pada penelitian yang diterbitkan pada pekan lalu, para ilmuwan berfokus pada tingkat curah hujan. Mereka menemukan, dua daerah yang terkena dampak paling parah mengalami curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya bulan lalu.
Di wilayah Ahr dan Erft di Jerman, 93 milimeter (3,6 inci) hujan turun dalam satu hari pada puncak krisis. Wilayah Meuse di Belgia mengalami hujan 106 mm yang memecahkan rekor selama periode dua hari.
Ilmuwan menghitung, banjir akan terjadi lebih intens. Diperkirakan potensi banjir antara 1,2 hingga sembilan kali lebih mungkin terjadi di iklim hangat saat ini, dibandingkan dengan skenario di mana tidak ada pemanasan sejak era pra-industri.
Menurut penelitian yang diselenggarakan oleh World Weather Attribution itu, hujan seperti itu di Jerman dan wilayah Benelux sekarang antara 3-19 persen lebih berat karena pemanasan yang disebabkan manusia."Perubahan iklim meningkatkan kemungkinan (banjir), tetapi perubahan iklim juga meningkatkan intensitasnya," kata Frank Kreienkamp, dari dinas cuaca Jerman.