Ahad 15 Aug 2021 08:09 WIB

Cegah Kemacetan, Manusia Wajib Belajar dari Semut

Semut bekerja dengan komunitas, sedangkan manusia umumnya egois.

Kemacetan di jalan raya (ilustrasi)
Foto: Flickr
Kemacetan di jalan raya (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap manusia yang cenderung memikirkan kepentingan sendiri menyulut banyak masalah. Masalah itu antara lain kemacetan yang merugikan manusia pula.

Manusia bisa belajar dari semut untuk mengatasi kemacetan. Di jalan tol milik semut, tidak pernah ada macet. Sebaliknya, di jalan tol manusia, kemacetan bukan saja normalitas. Kita bahkan mencetak rekor demi rekor dalam hal kemacetan.

Baca Juga

Ketika 21 September 2005, angin topan Rita bergerak menuju Huston, AS, dua setengah juta orang berusaha mengungsi. Akibatnya, di jalan tol 45 menuju Dallas, terbentuk kemacetan sepanjang 160 km, dan lalu lintas tak bergerak selama 48 jam.

Lebih parah lagi ketika pertandian final Piala Dunia 2014 di Brasil. Kemacetan berawal di Sao Paulo, dan panjangnya 344 km. Jadi hampir antara Sao Paulo dan Rio.

Contoh lain bisa dilihat di Moskow, November 2012. Musim dingin mencengkeram Rusia yang jadi negara berlahan terbesar di dunia, dan menyebabkan kemacetan. Badai salju menerjang kawasan jalan tol antara St. Petersburg dan Moskow!

Apa penyebab utama kemacetan?

Menurut Prof. Peter Wagner, dari Institut DLR untuk Sistem Transportasi, “Masalah utamanya, kurangnya kapasitas.“ Tentu ada masalah lain, tapi itu tidak sering muncul. Tentu ada saja orang yang membuat kesalahan saat menyetir. Misalnya, kurang memperhatikan lalu lintas, sehingga tiba-tiba mengerem keras.

Peneliti kemacetan Michael Schreckenberg, dari Uni Duisburg pendapatnya tidak jauh berbeda. “Konstruksi jalanan, kecelakaan, kondisi cuaca,“ katanya sambil menambahkan.

Namun, semua itu cuma 60 atau 70 persen penyebab kemacetan. Tergantung letaknya, kerap karena jalanan terlalu penuh. Terlalu banyak kendaraan di waktu sama, ke arah yang sama. Ini yang bisa dilihat di berbagai tempat, hampir di seluruh dunia.

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement