Jumat 30 Jul 2021 04:52 WIB

Cerita 2 Ilmuwan Indonesia Saat Riset Vaksin AstraZeneca

Tim bekerja selama 12 jam sehari selama 1,5 tahun untuk penelitian vaksin AstraZeneca

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Tangkapan layar Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya berbincang dengan dua ilmuwan Indonesia yang terlibat dalam pengembangan vaksin AstraZeneca.
Foto: Tangkapan layar
Tangkapan layar Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya berbincang dengan dua ilmuwan Indonesia yang terlibat dalam pengembangan vaksin AstraZeneca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin AstraZeneca adalah salah satu jenis vaksin yang digunakan di Indonesia. Di balik penelitian vaksin itu, ada dua ilmuwan Indonesia yang bergabung dalam tim pengembangan vaksin Astrazeneca di bawah pimpinan Prof Sarah Gilbert di Universitas Oxford, Inggris. Mereka adalah Carina Joe dan Indra Rudiansyah.

Menurut Carina, saat mendapat proyek uji klinis vaksin, ia seperti mendapat tanggung jawab besar. Sebab, hasil kerjanya akan memiliki pengaruh langsung untuk kehidupan masyarakat secara global.

Baca Juga

“Perasaannya ada senangnya, ada susahnya juga. Saya berbicara mewakili tim saya, tim manufacturing dari Jenner Oxford. Kita bekerja super keras ,” kata Carina dalam acara virtual bincang santai di Instagram Live Duta Besar Indonesia untuk Inggris Desra Percaya, beberapa waktu lalu.

Saat pandemi, ia dan timnya bekerja tujuh hari. Mereka bekerja lebih dari 12 jam sehari.

“Pas pandemi itu kita kerja tujuh hari seminggu. Lebih dari 12 jam sehari, tanpa libur, tanpa istirahat 1,5 tahun itu, supaya bisa digunakan untuk seluruh dunia. Itu susahnya,” ujarnya.

Selain itu ia mengungkapkan rasa senangnya. Ia senang karena vaksin Oxford-AstraZeneca ini sekarang telah disetujui di 178 negara di seluruh dunia. Dan hingga awal Juli ini 700 juta dosis vaksin tersebut sudah digunakan di seluruh dunia.

Kandidat doktor Universitas Oxford Indra Rudiansyah juga merasa senang dan bangga karena bisa belajar dari orang-orang yang profesional di bidang uji klinis. Indra menuturkan, ia bisa mendapat banyak ilmu dari mereka, seperti bagaimana mengelola desain uji klinis, merekrut volunter dan pembagian tugas di lab imunologi.

Critical trial itu tidak mudah, karena melibatkan banyak orang, kemudian sampelnya banyak. Jadi bisa saja ada banyak hal yang salah terjadi kapanpun itu bisa sekali,” ujar Indra.

“Tapi saya lihat orang-orang di dalam itu sangat profesional, ketika ada kesalahan mereka ‘oke ini salah, kita move on, kita belajar dari kesalahan ini’. Jadi senang sekali bisa belajar langsung dari orang-orang semacam Sarah Gilbert, Teresa Lambe, Carina, Cathy Emmas,” katanya lagi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement